Persebaya temukan pelatih yang sepadan sepeninggal Freddy Muli. Tim berjuluk Green Force ini akhirnya memilih Arcan Iurie sebagai pelatih. Pria asal Moldova ini bakal mendampingi arek-arek selama putaran dua mendatang. Kabar gembira ini disampaikan manajer Indah Kurnia yang bertemu langsung dengan Arcan di Jakarta, Minggu (28/12) siang kemarin.
Dalam pertemuan yang digelar di Coffee Bean Pondok Indah Mal tersebut, kedua belah pihak sepakat untuk mengikat kerja sama. "Per lisan kita sudah sepakat. Dia sudah setuju dengan tantangan yang kita berikan. Kita juga sepakat memenuhi hak-hak yang diminta," terang Indah Kurnia, kemarin.
Secara resmi, ikatan kerja sama tersebut akan dituangkan dalam kontrak tertulis pada Rabu (31/12) mendatang di Surabaya. "Ya, Rabu nanti dia akan ke Surabaya untuk tanda tangan kontrak. Selanjutnya, dia akan langsung melatih tim," tambahnya.
Disinggung nilai kontrak, Indah Kurnia tak menjelaskan secara detil. Yang pasti, ikatan kontrak yang dilakukan didasari saling menguntungkan. "Nggak etis saya sebutkan. Yang pasti, dia cukup paham dengan kondisi keuangan kita. Lebih penting lagi, Arcan justru tertarik dengan tantangan yang kita berikan," kilahnya.
Persebaya cukup beruntung bisa mendapatkan Arcan Iurie. Dari sisi pengalaman dan kemampuan, pelatih yang saat ini tinggal di Bandung, dikenal pernah menangani beberapa tim besar. Seperti Persija Jakarta dan Persib Bandung. Pada putaran pertama lalu, Arcan Iurie menjadi arsitek Persik Kediri. Di paro musim, Arcan pilih keluar setelah kubu Persik lakukan kebijakan rasionalisasi.
Terpilihnya Arcan ini sekaligus mengakhiri bursa pelatih Persebaya yang sempat marak. Sebelum ini, nama Hartono, Yudi Suryata dan Pikal Wolfgang (pelatih akademi real madrid Indonesia) sempat disebut. "Insya Allah pilihan ini cocok. Kami mohon dukungan dan doa restu masyarakat Surabaya agar Persebaya tetap berjaya di putaran dua nanti," tambah Indah Kurnia.
Mulusnya proses perekrutan Arcan Iurie ini tak lepas dari peran Saleh Hanifah. Asisten manajer Persebaya ini kabarnya sudah menjalin kontak intensif dengan Arcan Iurie sejak sepekan lalu. Hanya saja, saat itu bos Olimpic Sports ini belum melangkah terlalu jauh karena masih menunggu sinyal dari pengurus sekaligus kesiapan Kasiyanto dan Murysid Efendi. Nah, setelah semuanya oke maka kesepakatan pun dilakukan dengan menggelar pertemuan langsung. Kebetulan, sejak tiga hari terakhir Indah Kurnia berada di Jakarta. "Ya, ada teman yang jadi penghubung. Yang pasti, ini kerja bersama. Bukan hanya saya," tukasnya, merendah. (ram)
Minggu, 28 Desember 2008
Tertarik Tantangan dan Nama Besar, Setuju Digaji Bulanan
*)Arcan Iurie, Pelatih Anyar Persebaya
Ram Surahman,
rambenjeng@gmail.com
Pandangan bahwa Persebaya bakal limbung setelah gonjang-ganjing, sepertinya patut direvisi. Asa tinggi justru menyeruak seiring dengan keberhasilan Persebaya menggaet Arcan Iurie sebagai pelatih.
=================
Kabar keberhasilan menggaet pelatih yang putaran pertama lalu menangani Persik ini, jelas menjadi kemajuan besar bagi Persebaya. Maklum, usai melepas pelatih Freddy Muli plus enam pemain, kondisi internal Persebaya jadi sorotan. Terutama menyangkut kaburnya posisi, siapa pemegang komando saat itu. Kondisi makin hiruk pikuk setelah sekelompok suporter meningkahi dengan aksi unjuk rasa. Klop sudah. Persebaya seperti sudah berada di tubir jurang kejatuhan.
Perkembangan ternyata terjadi begitu cepat. Seperti karakter Persebaya selama ini, makin kepepet makin moncer ternyata terbukti. Dalam posisi seperti itu, justru kabar keberhasilan menggaet Arcan Iurie malah berhembus. "Terus terang, perkembangan yang terjadi begitu cepat. Saya sendiri nggak nyangka bisa dapatkan Arcan secepat ini," tukas Saleh Hanifah, asisten manajer Persebaya.
Saleh Hanifah memang menjadi figur penting dibalik kedatangan Arcan ke Persebaya. Menurut Saleh, kontak dengan Arcan sudah dijalin sejak sepekan lalu. Lewat seorang teman, Arcan menyampaikan pesan ingin menjadi pelatih Persebaya sepeninggal Freddy Muli. Saat itu, respon yang diberikan Saleh masih datar saja. Selain kondisi tubuhnya yang agak drop, pengurus juga belum memberi sinyal untuk menjajaki pelatih baru. "Sesuai kesepakatan, kita kan memang masih menunggu kesediaan Mursyid dan Kasiyanto dulu. Makanya, kita belum terpikir untuk ambil pelatih baru. Lagipula, kondisi keuangan kita masih belum memungkinkan," tukasnya.
Pertemuan antar pengurus yang digelar, Sabtu (27/12) kemarin, mengubah segalanya. Saat itu, ketua umum Saleh Ismail Mukadar memberi lampu hijau untuk memakai pelatih baru. Keputusan ini diambil seiring dengan tidak bersedianya Mursyid maupun Kasiyanto untuk menjadi pelatih kepala. Dan, di forum tersebut, nama Arcan Iurie muncul bersama dengan sederet nama lainnya. "Waktu itu, saya diminta untuk menindaklanjuti pendekatan dengan Arcan," tukasnya.
Tak butuh waktu lama bagi Saleh untuk menjalin kesepahaman dengan Arcan. Lewat pembicaraan telepon yang intensif, Arcan sepakat dengan apa yang ditawarkan. Menariknya, terang Saleh, urusan duit ternyata menjadi tema terakhir dalam pembicaraan tersebut. Yang pertama ditanyakan Arcan adalah alasan kenapa Freddy keluar dari Persebaya. Begitu juga dengan enam pemain yang dilepas. Berapa orang yang menjadi tim inti dari jumlah tersebut. Baru, setelah itu bicara uang. "Ini salah satu alasan yang membuat pembicaraan bisa berlangsung mulus. Arcan cukup paham dengan kondisi keuangan kita. Tantangan dan nama besar Persebaya menjadi salah satu daya tarik walau nilai yang kita tawarkan cukup kecil untuk ukuran pelatih sekaliber dia," jelas Saleh.
Informasi yang didapat Radar Surabaya, Arcan nanti akan dibayar tak lebih besar dari yang ditawarkan Persebaya pada Freddy Muli. Yakni gaji bulanan sekitar Rp 25 - Rp 30 juta. Gaji ini akan diberikan sampai berakhirnya kompetisi nanti. Jadi, tidak lagi sistem kontrak. "Kalau nilainya saya nggak mau ngomong. Tapi, model pembayarannya memang seperti itu. Dia sangat mengerti dengan kondisi yang ada. Itu yang membuat kami salut," tambahnya.
Menyangkut target, Arcan belum bisa bicara banyak. Yang pasti, sebelum ini, ketua umum Persebaya Saleh Ismail Mukadar memastikan Persebaya tetap membidik target tinggi yakni menjadi juara sekaligus lolos ke superliga. Insya Allah. ****
Ram Surahman,
rambenjeng@gmail.com
Pandangan bahwa Persebaya bakal limbung setelah gonjang-ganjing, sepertinya patut direvisi. Asa tinggi justru menyeruak seiring dengan keberhasilan Persebaya menggaet Arcan Iurie sebagai pelatih.
=================
Kabar keberhasilan menggaet pelatih yang putaran pertama lalu menangani Persik ini, jelas menjadi kemajuan besar bagi Persebaya. Maklum, usai melepas pelatih Freddy Muli plus enam pemain, kondisi internal Persebaya jadi sorotan. Terutama menyangkut kaburnya posisi, siapa pemegang komando saat itu. Kondisi makin hiruk pikuk setelah sekelompok suporter meningkahi dengan aksi unjuk rasa. Klop sudah. Persebaya seperti sudah berada di tubir jurang kejatuhan.
Perkembangan ternyata terjadi begitu cepat. Seperti karakter Persebaya selama ini, makin kepepet makin moncer ternyata terbukti. Dalam posisi seperti itu, justru kabar keberhasilan menggaet Arcan Iurie malah berhembus. "Terus terang, perkembangan yang terjadi begitu cepat. Saya sendiri nggak nyangka bisa dapatkan Arcan secepat ini," tukas Saleh Hanifah, asisten manajer Persebaya.
Saleh Hanifah memang menjadi figur penting dibalik kedatangan Arcan ke Persebaya. Menurut Saleh, kontak dengan Arcan sudah dijalin sejak sepekan lalu. Lewat seorang teman, Arcan menyampaikan pesan ingin menjadi pelatih Persebaya sepeninggal Freddy Muli. Saat itu, respon yang diberikan Saleh masih datar saja. Selain kondisi tubuhnya yang agak drop, pengurus juga belum memberi sinyal untuk menjajaki pelatih baru. "Sesuai kesepakatan, kita kan memang masih menunggu kesediaan Mursyid dan Kasiyanto dulu. Makanya, kita belum terpikir untuk ambil pelatih baru. Lagipula, kondisi keuangan kita masih belum memungkinkan," tukasnya.
Pertemuan antar pengurus yang digelar, Sabtu (27/12) kemarin, mengubah segalanya. Saat itu, ketua umum Saleh Ismail Mukadar memberi lampu hijau untuk memakai pelatih baru. Keputusan ini diambil seiring dengan tidak bersedianya Mursyid maupun Kasiyanto untuk menjadi pelatih kepala. Dan, di forum tersebut, nama Arcan Iurie muncul bersama dengan sederet nama lainnya. "Waktu itu, saya diminta untuk menindaklanjuti pendekatan dengan Arcan," tukasnya.
Tak butuh waktu lama bagi Saleh untuk menjalin kesepahaman dengan Arcan. Lewat pembicaraan telepon yang intensif, Arcan sepakat dengan apa yang ditawarkan. Menariknya, terang Saleh, urusan duit ternyata menjadi tema terakhir dalam pembicaraan tersebut. Yang pertama ditanyakan Arcan adalah alasan kenapa Freddy keluar dari Persebaya. Begitu juga dengan enam pemain yang dilepas. Berapa orang yang menjadi tim inti dari jumlah tersebut. Baru, setelah itu bicara uang. "Ini salah satu alasan yang membuat pembicaraan bisa berlangsung mulus. Arcan cukup paham dengan kondisi keuangan kita. Tantangan dan nama besar Persebaya menjadi salah satu daya tarik walau nilai yang kita tawarkan cukup kecil untuk ukuran pelatih sekaliber dia," jelas Saleh.
Informasi yang didapat Radar Surabaya, Arcan nanti akan dibayar tak lebih besar dari yang ditawarkan Persebaya pada Freddy Muli. Yakni gaji bulanan sekitar Rp 25 - Rp 30 juta. Gaji ini akan diberikan sampai berakhirnya kompetisi nanti. Jadi, tidak lagi sistem kontrak. "Kalau nilainya saya nggak mau ngomong. Tapi, model pembayarannya memang seperti itu. Dia sangat mengerti dengan kondisi yang ada. Itu yang membuat kami salut," tambahnya.
Menyangkut target, Arcan belum bisa bicara banyak. Yang pasti, sebelum ini, ketua umum Persebaya Saleh Ismail Mukadar memastikan Persebaya tetap membidik target tinggi yakni menjadi juara sekaligus lolos ke superliga. Insya Allah. ****
Selasa, 23 Desember 2008
Diri Sendiri, Musuh Terbesar Persebaya
Harus dipahami, menyembuhkan luka hati, jelas tak semudah mengobati luka fisik. Butuh perhatian dan kerja ekstra untuk merawat dan memastikan semua baik-baik saja. Masa penyembuhan pun tak tertentu. Bisa super cepat atau malah tak tuntas sampai akhir musim nanti.
Ram Surahman,
rambenjeng@gmail.com
============
Tambah sukses atau terpurukkah Persebaya setelah gonjang-ganjing saat ini? Tak bisa disangkal, pertanyaan tersebut yang kini banyak bergelanyut di benak para pecinta Persebaya. Dari kaca mata pengurus, optimisme terlihat menyembul atas kebijakan yang diambil. Pencoretan enam pemain, dinilai miliki dua keuntungan ganda. Mampu sedikit mengurangi beban keuangan klub, sekaligus tanpa mengusik kekuatan Green Force di lapangan. Bukankah mereka yang dilepas sebagian besar pemain pelapis? Begitu dalih mereka.
Diseberang, suara pesimis muncul. Ada keraguan, Persebaya bakal tetap stabil. Apalagi, sang arsitek tim, Freddy Muli ikutan pergi. Terlepas dari pro kontra yang mengiringi, coach asal Palopo Sulsel ini berjasa besar menempatkan Persebaya sebagai juara paro musim wilayah timur. Selain itu, perlu juga dicatat, memang hanya Bejo Sugiantoro dan Putu Gede -dua pemain pilar- yang masuk dalam gerbong pelepasan enam pemain. Hanya saja, pengaruh keduanya cukup besar bagi keseimbangan tim di lapangan. Ingat, Bejo adalah kapten tim. So, kestabilan yang ditunjukkan di putaran pertama, diragukan berlanjut. Begitu mereka yang skeptis lihat langkah yang diambil pengurus.
Tantangan Persebaya di putaran dua mendatang memang cukup berat. Selain para kompetitor di wilayah timur, sebelum itu, Green Force dituntut mampu mengalahkan diri sendiri. Bagaimana menghimpun kembali kekuatan yang berserak setelah goncangan kemarin. Saya kira, inilah musuh terbesar yang dihadapi Persebaya ke depan. Bohong besar bila guncangan kali ini, tak akan memberi efek apapun. Sekecil apapun, luka pasti ada. Nah, ini yang harus disembuhkan lebih dulu.
Harus dipahami, menyembuhkan luka hati, jelas tak semudah mengobati luka fisik. Butuh perhatian dan kerja ekstra untuk merawat dan memastikan semua baik-baik saja. Masa penyembuhan pun tak tertentu. Bisa super cepat atau malah tak tuntas sampai akhir musim nanti. Tergantung, sejauh mana efektifitas langkah yang diambil manajemen maupun pengurus.
Untuk itu, dibutuhkan rencana aksi yang runut dan gamblang guna mengurai ganjalan psikologis tersebut. Peran pelatih sangat besar dalam menentukan cepat tidaknya masa penyembuhan nanti. Pasalnya, sosok inilah yang berinteraksi langsung dengan pemain setiap saat. Kekuatan untuk memotivator dan meyakinkan akan masih adanya tumpukan asa dan ambisi bakal mempercepat proses penyatuan kembali. Karenanya, pelatih baru Persebaya nanti benar-benar harus seorang superman. Tidak saja miliki kemampuan teknis yang mumpuni tapi juga seorang motivator sekelas Andre Wongso atau Mario Teguh. Dan, dibelakangnya, manajemen dan pengurus memberi dukungan penuh. ***
Ram Surahman,
rambenjeng@gmail.com
============
Tambah sukses atau terpurukkah Persebaya setelah gonjang-ganjing saat ini? Tak bisa disangkal, pertanyaan tersebut yang kini banyak bergelanyut di benak para pecinta Persebaya. Dari kaca mata pengurus, optimisme terlihat menyembul atas kebijakan yang diambil. Pencoretan enam pemain, dinilai miliki dua keuntungan ganda. Mampu sedikit mengurangi beban keuangan klub, sekaligus tanpa mengusik kekuatan Green Force di lapangan. Bukankah mereka yang dilepas sebagian besar pemain pelapis? Begitu dalih mereka.
Diseberang, suara pesimis muncul. Ada keraguan, Persebaya bakal tetap stabil. Apalagi, sang arsitek tim, Freddy Muli ikutan pergi. Terlepas dari pro kontra yang mengiringi, coach asal Palopo Sulsel ini berjasa besar menempatkan Persebaya sebagai juara paro musim wilayah timur. Selain itu, perlu juga dicatat, memang hanya Bejo Sugiantoro dan Putu Gede -dua pemain pilar- yang masuk dalam gerbong pelepasan enam pemain. Hanya saja, pengaruh keduanya cukup besar bagi keseimbangan tim di lapangan. Ingat, Bejo adalah kapten tim. So, kestabilan yang ditunjukkan di putaran pertama, diragukan berlanjut. Begitu mereka yang skeptis lihat langkah yang diambil pengurus.
Tantangan Persebaya di putaran dua mendatang memang cukup berat. Selain para kompetitor di wilayah timur, sebelum itu, Green Force dituntut mampu mengalahkan diri sendiri. Bagaimana menghimpun kembali kekuatan yang berserak setelah goncangan kemarin. Saya kira, inilah musuh terbesar yang dihadapi Persebaya ke depan. Bohong besar bila guncangan kali ini, tak akan memberi efek apapun. Sekecil apapun, luka pasti ada. Nah, ini yang harus disembuhkan lebih dulu.
Harus dipahami, menyembuhkan luka hati, jelas tak semudah mengobati luka fisik. Butuh perhatian dan kerja ekstra untuk merawat dan memastikan semua baik-baik saja. Masa penyembuhan pun tak tertentu. Bisa super cepat atau malah tak tuntas sampai akhir musim nanti. Tergantung, sejauh mana efektifitas langkah yang diambil manajemen maupun pengurus.
Untuk itu, dibutuhkan rencana aksi yang runut dan gamblang guna mengurai ganjalan psikologis tersebut. Peran pelatih sangat besar dalam menentukan cepat tidaknya masa penyembuhan nanti. Pasalnya, sosok inilah yang berinteraksi langsung dengan pemain setiap saat. Kekuatan untuk memotivator dan meyakinkan akan masih adanya tumpukan asa dan ambisi bakal mempercepat proses penyatuan kembali. Karenanya, pelatih baru Persebaya nanti benar-benar harus seorang superman. Tidak saja miliki kemampuan teknis yang mumpuni tapi juga seorang motivator sekelas Andre Wongso atau Mario Teguh. Dan, dibelakangnya, manajemen dan pengurus memberi dukungan penuh. ***
Melihat Indonesia Mini di Suryanaga
Ram Surahman
Tionghoa. Kata itu barangkali yang cukup identik dengan Perkumpulan Olahraga (POR) Suryanaga. Pengaitan ini memang tak salah. Jejak historis menunjukkan fakta seperti itu. POR Tiong Hwa yang dibentuk pada 1 Januari 1908 lampau adalah cikal bakal perkumpulan ini. Nah, memasuki usia seabad, masihkah relevan pengaitan ini?
Jarang ada sebuah perkumpulan olahraga (POR) bisa menginjak usia sampai satu abad lamanya. Di daratan Eropa, kisah manis seperti ini barangkali bisa didengar dari klub-klub sepakbola. Seperti Real Madrid di Spanyol atau Inter Milan di Italia. Maklum, butuh tenaga spartan serta keuletan luar biasa agar bisa bertahan sepanjang waktu tersebut. Maklum, butuh kepiawaian lebih untuk mengawal organisasi melewati setiap riak yang terjadi. Ini yang sulit.
Di Indonesia? Suryanaga termasuk sedikit perkumpulan yang mampu menorehkan catatan seperti itu. Selain itu, ada juga POR UMS yang sudah menapak usia satu abad lebih. Perkumpulan dengan nama Union Makes Strenght (UMS) didirikan pada 15 Desember 1905. Lebih tua dari Suryanaga. Kendati begitu, perkembangan perkumpulan ini tak semaju POR Suryanaga.
Sejatinya, melihat jejak historis perkumpulan ini, sulit dipercaya Suryanaga mampu eksis sampai satu abad lamanya. Bagaimana tidak, POR Tiong Hwa yang menjadi cikal bakal organisasi ini lahir dari semangat primordialisme.
Perkumpulan ini menjadi wadah kaum Tionghoa penikmat olahraga senam pada masa itu. Padahal, jamak diketahui, organisasi yang berbasis kesukuan dan ikatan-ikatan eksklusifisme lainnya, seringkali tak berumur panjang. Kalaupun tetap eksis, biasanya mulai redup ditelan perkembangan jaman.
Apa resepnya? Keluwesan, disebut Yacob Rusdianto, ketua harian POR Suryanaga menjadi kunci eksisnya perkumpulan ini. Sifat yang diambil dari filosofi seekor naga tersebut, mampu menyelamatkan organisasi ini dari setiap cobaan yang datang. Dari yang ringan sampai yang coba mengancam eksistensinya.
Lihat saja catatan sejarah yang mengiringi perjalanan Suryanaga. Bermula dari POR Tiong Hwa pada 1908, selubung eksklusifitas coba disibak dengan mengganti nama menjadi Naga Kuning pada 1959. Harapan pergantian agar terlihat lebih ’meng-Indonesia’ ini tak berumur lama. Tujuh tahun kemudian, ketatnya tekanan penguasa saat itu yang mengatasnamakan ’pembauran’, lahir Keppres no 623/Pr/66, tertanggal 9 Mei Tahun 1966.
Keputusan ini sekaligus menandai nama Suryanaga hingga kini. Hebatnya, tekanan ini tak dihadapi secara emosional dan frontal. Secara cerdas, tekanan ini dijawab dengan prestasi di lapangan. Salah satunya, seperti yang ditunjukkan Njoo Kim Bie, ikon bulutangkis nasional dari Suryanaga.
Kibasan raket pemilik nama Koesbianto Setiadharma Atmaja ini mampu membuat kalangan istana terpesona. Deretan penghargaan diterima. Salah satunya tanda kehormatan dari LB Moerdani (saat itu, Menhankam).
Ini sekaligus menjadi pengakuan akan kehebatan dan eksistensi perkumpulan ini. ’’Dari awal, komitmen akan ke-Indonesia-an bagi kami sudah final. Karenanya, setiap dinamika yang terjadi ketika itu, kami secara lentur mampu mengimbangi,’’ urai Yacob.
Sikap luwes bisa diterapkan kapanpun, karena, sejak awal, tambah Yacob, perkumpulan ini memang tidak fanatis dan tertutup amat. Bahwa cikal bakal organisasi ini didirikan warga Tionghoa adalah fakta yang tak terbantah.
Hanya saja, jika dibedah lebih lanjut, kelahiran POR Tiong Hwa saat itu, lebih pada karena produk situasi dibanding pertimbangan etnis. Penjajah Belanda saat itu, memang sengaja mendorong munculnya banyak organisasi dengan basis etnis maupun suku tertentu. Pasalnya, ini akan memermudah Belanda memecah belah (devide et impera).
Perkembangan di era modern, makin memertegas argumentasi ini. POR Suryanaga kini laksana Indonesia Mini. Sebuah perkumpulan dengan multikultural. Siapapun dengan latar belakang apapun bisa dijumpai di sana.
Di bukutangkis misalnya, dari 300 atlet yang tergabung saat ini, sekitar 90 persen malah berasal dari latar belakang keluarga yang beragam. Sepakbola lebih dahsyat lagi. Di Perkumpulan Sepakbola (PS) Suryanaga yang kini kandidat kuat juara kompetisi kelas utama PSSI Surabaya, justru cukup sulit menjumpai pemain keturunan Tionghoa yang asyik menari-nari di Stadion Gelora 10 Nopember.
Padahal, dulu semasa masih bernama Naga Kuning, banyak pemain hebat lahir. ’’Bagi kami, tak penting warna kulit seorang pemain. Yang terpenting, dia punya skill dan kemampuan bagus di lapangan. Siapapun dia, bagi kami dia adalah aset yang harus dipertahankan,’’ terang Michel, Pengelola PS Suryanaga saat ini.
’’Malah, tahun 70-an lalu, Sepakbola Suryanaga dipimpin keturunan Arab. Namanya Thalib Bob Said,’’ tambah Yacob, seakan mempertegas pendapat juniornya ini.
Ke-bhineka-an ini mampu dirangkai mulus karena bersendi semangat fair play dan sportifitas. Dan, prestasi, telah disepakati menjadi tolok ukur yang tak bisa ditawar. Sepanjang mampu dan berprestasi, seseorang bisa mencapai posisi puncak dan dapatkan harumnya puja-puji. ’’Saya dulu mendapat perlakuan yang sama. Prestasi jualah yang pada akhirnya menjadi pembeda,’’ kisah Sri Wijanti (56), kini salah satu tim pelatih PB Suryanaga.
Sri Wijanti, termasuk generasi pertama non Tionghoa yang ikut membawa harum Suryanaga pada tahun 70-an. Ibu dua anak kelahiran Tulungagung ini memutuskan hijrah ke Suryanaga untuk mengoptimalkan kemampuan. ’’Waktu itu, saya pilih Suryanaga karena terkenal melahirkan para pebulutangkis yang hebat. Sama sekali ndak ada pikiran bahwa saya akan diperlakukan berbeda. Dan, terbukti sampai saat ini. Walau saya sudah lama pensiun, toh tenaga dan pikiran saya masih dipakai,’’ jelas wanita yang kini masuk dalam pemandu bakat di kepengurusan PB Suryanaga Jatim ini.
Kini, seabad telah dilewati. Dengan harmoni yang ditunjukkan selama ini, POR Suryanaga sepertinya bakal tetap eksis dan terus mengukir prestasi emas sepanjang jaman. Viva POR Suryanaga.(*)
rambenjeng@gmail.com
Tionghoa. Kata itu barangkali yang cukup identik dengan Perkumpulan Olahraga (POR) Suryanaga. Pengaitan ini memang tak salah. Jejak historis menunjukkan fakta seperti itu. POR Tiong Hwa yang dibentuk pada 1 Januari 1908 lampau adalah cikal bakal perkumpulan ini. Nah, memasuki usia seabad, masihkah relevan pengaitan ini?
Jarang ada sebuah perkumpulan olahraga (POR) bisa menginjak usia sampai satu abad lamanya. Di daratan Eropa, kisah manis seperti ini barangkali bisa didengar dari klub-klub sepakbola. Seperti Real Madrid di Spanyol atau Inter Milan di Italia. Maklum, butuh tenaga spartan serta keuletan luar biasa agar bisa bertahan sepanjang waktu tersebut. Maklum, butuh kepiawaian lebih untuk mengawal organisasi melewati setiap riak yang terjadi. Ini yang sulit.
Di Indonesia? Suryanaga termasuk sedikit perkumpulan yang mampu menorehkan catatan seperti itu. Selain itu, ada juga POR UMS yang sudah menapak usia satu abad lebih. Perkumpulan dengan nama Union Makes Strenght (UMS) didirikan pada 15 Desember 1905. Lebih tua dari Suryanaga. Kendati begitu, perkembangan perkumpulan ini tak semaju POR Suryanaga.
Sejatinya, melihat jejak historis perkumpulan ini, sulit dipercaya Suryanaga mampu eksis sampai satu abad lamanya. Bagaimana tidak, POR Tiong Hwa yang menjadi cikal bakal organisasi ini lahir dari semangat primordialisme.
Perkumpulan ini menjadi wadah kaum Tionghoa penikmat olahraga senam pada masa itu. Padahal, jamak diketahui, organisasi yang berbasis kesukuan dan ikatan-ikatan eksklusifisme lainnya, seringkali tak berumur panjang. Kalaupun tetap eksis, biasanya mulai redup ditelan perkembangan jaman.
Apa resepnya? Keluwesan, disebut Yacob Rusdianto, ketua harian POR Suryanaga menjadi kunci eksisnya perkumpulan ini. Sifat yang diambil dari filosofi seekor naga tersebut, mampu menyelamatkan organisasi ini dari setiap cobaan yang datang. Dari yang ringan sampai yang coba mengancam eksistensinya.
Lihat saja catatan sejarah yang mengiringi perjalanan Suryanaga. Bermula dari POR Tiong Hwa pada 1908, selubung eksklusifitas coba disibak dengan mengganti nama menjadi Naga Kuning pada 1959. Harapan pergantian agar terlihat lebih ’meng-Indonesia’ ini tak berumur lama. Tujuh tahun kemudian, ketatnya tekanan penguasa saat itu yang mengatasnamakan ’pembauran’, lahir Keppres no 623/Pr/66, tertanggal 9 Mei Tahun 1966.
Keputusan ini sekaligus menandai nama Suryanaga hingga kini. Hebatnya, tekanan ini tak dihadapi secara emosional dan frontal. Secara cerdas, tekanan ini dijawab dengan prestasi di lapangan. Salah satunya, seperti yang ditunjukkan Njoo Kim Bie, ikon bulutangkis nasional dari Suryanaga.
Kibasan raket pemilik nama Koesbianto Setiadharma Atmaja ini mampu membuat kalangan istana terpesona. Deretan penghargaan diterima. Salah satunya tanda kehormatan dari LB Moerdani (saat itu, Menhankam).
Ini sekaligus menjadi pengakuan akan kehebatan dan eksistensi perkumpulan ini. ’’Dari awal, komitmen akan ke-Indonesia-an bagi kami sudah final. Karenanya, setiap dinamika yang terjadi ketika itu, kami secara lentur mampu mengimbangi,’’ urai Yacob.
Sikap luwes bisa diterapkan kapanpun, karena, sejak awal, tambah Yacob, perkumpulan ini memang tidak fanatis dan tertutup amat. Bahwa cikal bakal organisasi ini didirikan warga Tionghoa adalah fakta yang tak terbantah.
Hanya saja, jika dibedah lebih lanjut, kelahiran POR Tiong Hwa saat itu, lebih pada karena produk situasi dibanding pertimbangan etnis. Penjajah Belanda saat itu, memang sengaja mendorong munculnya banyak organisasi dengan basis etnis maupun suku tertentu. Pasalnya, ini akan memermudah Belanda memecah belah (devide et impera).
Perkembangan di era modern, makin memertegas argumentasi ini. POR Suryanaga kini laksana Indonesia Mini. Sebuah perkumpulan dengan multikultural. Siapapun dengan latar belakang apapun bisa dijumpai di sana.
Di bukutangkis misalnya, dari 300 atlet yang tergabung saat ini, sekitar 90 persen malah berasal dari latar belakang keluarga yang beragam. Sepakbola lebih dahsyat lagi. Di Perkumpulan Sepakbola (PS) Suryanaga yang kini kandidat kuat juara kompetisi kelas utama PSSI Surabaya, justru cukup sulit menjumpai pemain keturunan Tionghoa yang asyik menari-nari di Stadion Gelora 10 Nopember.
Padahal, dulu semasa masih bernama Naga Kuning, banyak pemain hebat lahir. ’’Bagi kami, tak penting warna kulit seorang pemain. Yang terpenting, dia punya skill dan kemampuan bagus di lapangan. Siapapun dia, bagi kami dia adalah aset yang harus dipertahankan,’’ terang Michel, Pengelola PS Suryanaga saat ini.
’’Malah, tahun 70-an lalu, Sepakbola Suryanaga dipimpin keturunan Arab. Namanya Thalib Bob Said,’’ tambah Yacob, seakan mempertegas pendapat juniornya ini.
Ke-bhineka-an ini mampu dirangkai mulus karena bersendi semangat fair play dan sportifitas. Dan, prestasi, telah disepakati menjadi tolok ukur yang tak bisa ditawar. Sepanjang mampu dan berprestasi, seseorang bisa mencapai posisi puncak dan dapatkan harumnya puja-puji. ’’Saya dulu mendapat perlakuan yang sama. Prestasi jualah yang pada akhirnya menjadi pembeda,’’ kisah Sri Wijanti (56), kini salah satu tim pelatih PB Suryanaga.
Sri Wijanti, termasuk generasi pertama non Tionghoa yang ikut membawa harum Suryanaga pada tahun 70-an. Ibu dua anak kelahiran Tulungagung ini memutuskan hijrah ke Suryanaga untuk mengoptimalkan kemampuan. ’’Waktu itu, saya pilih Suryanaga karena terkenal melahirkan para pebulutangkis yang hebat. Sama sekali ndak ada pikiran bahwa saya akan diperlakukan berbeda. Dan, terbukti sampai saat ini. Walau saya sudah lama pensiun, toh tenaga dan pikiran saya masih dipakai,’’ jelas wanita yang kini masuk dalam pemandu bakat di kepengurusan PB Suryanaga Jatim ini.
Kini, seabad telah dilewati. Dengan harmoni yang ditunjukkan selama ini, POR Suryanaga sepertinya bakal tetap eksis dan terus mengukir prestasi emas sepanjang jaman. Viva POR Suryanaga.(*)
rambenjeng@gmail.com
Rabu, 03 Desember 2008
Surabaya Perlu Belajar dari Kegagalan DKI Jakarta
Porprov, Setelah 20 Cabor Diputuskan
Merebut jauh lebih mudah dari mempertahankan. Kata bijak ini perlu dicamkan benar kontingen Surabaya yang akan berlaga di Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) 2009 mendatang. Kendati masih belum ditentukan kapan pelaksanaan multi even dua tahunan tersebut namun bagi para kontingen, khususnya Surabaya, perjuangan sudah mulai sejak diputuskan jumlah cabor yang dipertandingkan nanti.
Banyak yang menilai, Porprov II nanti, Surabaya akan tetap kembali menggenggam juara umum. Rekam data prestasim cukup mendukung prediksi tersebut. Ingat, 70 persen dari atlet Jatim yang berlaga di PON XVII Kaltim lalu, beralasal dari Surabaya. Logikanya, jika di PON saja mereka mampu menjadi jawara, tentu tak akan sulit bagi atlet Surabaya meneruskan di Poprov mendatang.
Selain itu, lima cabor tambahan yang diputuskan di Hotel Utami, Sabtu (29/11) lalu, sudah jadi rahasia umum menjadi milik Surabaya. Tak kurang, Penjabat Ketua Umum KONI Surabaya, Heroe Poernomohadi mengakui hal tersebut. Ya, Karate, Gulat, Panahan, Panjat Tebing dan Selam adalah olahraga yang masih menjadi milik Surabaya. Jadi, pantaslah bila Surabaya kembali dijagokan kembali.
Di lapangan, KONI Surabaya coba menjawab puja-puji tersebut dengan konsep yang terencana. Program Pemusatan Latihan Cabang (Puslatcab) yang selama ini digeber di 43 cabang olahraga yang di bawah naungan KONI Surabaya coba dioptimalkan. Terutama 20 cabor yang akan dipertandingkan di Porprov nanti. Semua semangat dan ambisi tersebut dirangkum dalam program Surabaya Sukses 50. Surabaya Sukses adalah jargon yang dicanangkan Wali Kota Surabaya Bambang DH saat melepas atlet Surabaya yang bertarung di PON Kaltim lalu. Angka 50 merujuk pada jumlah medali emas yang dibidik di Porprov mendatang. Jumlah ini, merupakan kelipatan dua dari jumlah medali yang dikoleksi Surabaya di Porprov 2007 lalu. Saat itu, kontingen Surabaya keluar sebagai juara umum dengan 27 emas.
Di atas kertas, sepertinya sulit bagi Surabaya untuk tak merebut kembali juara umum. Semua perencanaan sudah disusun secara matang. Hanya saja, apakah ini sudah cukup untuk mengantar Surabaya juara kembali?
Ini yang masih perlu dibuktikan di lapangan kelak. Yang pasti, kontingen Surabaya perlu belajar dari kegagalan DKI Jakarta di PON Kaltim lalu. Dominasi DKI Jakarta di tiap PON pada akhirnya justru membuat antipati dari kontingen lain. Akibatnya, penjegalan terjadi di sana-sini. Gerakan Asal Bukan Jakarta (ABJ) menggelinding bak bola salju. Pada akhirnya, Jatim yang diuntungkan dari penempatan DKI Jakarta sebagai musuh bersama.
Yang perlu diwaspadai, bagaimana Surabaya bisa menghindari dari cap sebagai musuh bersama. Dominasi yang berlebihan, bagaimanapun, sedikit banyak akan memicu rasa antipati. Apalagi, Porprov kali ini digelar di Malang, daerah yang selama ini miliki tingkat persaingan tinggi dengan Surabaya.
Faktor non teknis ini, perlu diperhatikan. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah bagaimana seluruh elemen olahraga di Surabaya bisa miliki kesepahaman untuk menebar simpati. Baik lewat para pengurus, atlet, pelatih maupun wasit. Langkah ini sudah bisa dimulai dari sekarang. Terutama di even yang memungkinkan pertemuan dengan daerah lain. Gumpalan simpati ini, diharapkan bisa dipetik saat pelaksanaan Porprov nanti. ***
Merebut jauh lebih mudah dari mempertahankan. Kata bijak ini perlu dicamkan benar kontingen Surabaya yang akan berlaga di Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) 2009 mendatang. Kendati masih belum ditentukan kapan pelaksanaan multi even dua tahunan tersebut namun bagi para kontingen, khususnya Surabaya, perjuangan sudah mulai sejak diputuskan jumlah cabor yang dipertandingkan nanti.
Banyak yang menilai, Porprov II nanti, Surabaya akan tetap kembali menggenggam juara umum. Rekam data prestasim cukup mendukung prediksi tersebut. Ingat, 70 persen dari atlet Jatim yang berlaga di PON XVII Kaltim lalu, beralasal dari Surabaya. Logikanya, jika di PON saja mereka mampu menjadi jawara, tentu tak akan sulit bagi atlet Surabaya meneruskan di Poprov mendatang.
Selain itu, lima cabor tambahan yang diputuskan di Hotel Utami, Sabtu (29/11) lalu, sudah jadi rahasia umum menjadi milik Surabaya. Tak kurang, Penjabat Ketua Umum KONI Surabaya, Heroe Poernomohadi mengakui hal tersebut. Ya, Karate, Gulat, Panahan, Panjat Tebing dan Selam adalah olahraga yang masih menjadi milik Surabaya. Jadi, pantaslah bila Surabaya kembali dijagokan kembali.
Di lapangan, KONI Surabaya coba menjawab puja-puji tersebut dengan konsep yang terencana. Program Pemusatan Latihan Cabang (Puslatcab) yang selama ini digeber di 43 cabang olahraga yang di bawah naungan KONI Surabaya coba dioptimalkan. Terutama 20 cabor yang akan dipertandingkan di Porprov nanti. Semua semangat dan ambisi tersebut dirangkum dalam program Surabaya Sukses 50. Surabaya Sukses adalah jargon yang dicanangkan Wali Kota Surabaya Bambang DH saat melepas atlet Surabaya yang bertarung di PON Kaltim lalu. Angka 50 merujuk pada jumlah medali emas yang dibidik di Porprov mendatang. Jumlah ini, merupakan kelipatan dua dari jumlah medali yang dikoleksi Surabaya di Porprov 2007 lalu. Saat itu, kontingen Surabaya keluar sebagai juara umum dengan 27 emas.
Di atas kertas, sepertinya sulit bagi Surabaya untuk tak merebut kembali juara umum. Semua perencanaan sudah disusun secara matang. Hanya saja, apakah ini sudah cukup untuk mengantar Surabaya juara kembali?
Ini yang masih perlu dibuktikan di lapangan kelak. Yang pasti, kontingen Surabaya perlu belajar dari kegagalan DKI Jakarta di PON Kaltim lalu. Dominasi DKI Jakarta di tiap PON pada akhirnya justru membuat antipati dari kontingen lain. Akibatnya, penjegalan terjadi di sana-sini. Gerakan Asal Bukan Jakarta (ABJ) menggelinding bak bola salju. Pada akhirnya, Jatim yang diuntungkan dari penempatan DKI Jakarta sebagai musuh bersama.
Yang perlu diwaspadai, bagaimana Surabaya bisa menghindari dari cap sebagai musuh bersama. Dominasi yang berlebihan, bagaimanapun, sedikit banyak akan memicu rasa antipati. Apalagi, Porprov kali ini digelar di Malang, daerah yang selama ini miliki tingkat persaingan tinggi dengan Surabaya.
Faktor non teknis ini, perlu diperhatikan. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah bagaimana seluruh elemen olahraga di Surabaya bisa miliki kesepahaman untuk menebar simpati. Baik lewat para pengurus, atlet, pelatih maupun wasit. Langkah ini sudah bisa dimulai dari sekarang. Terutama di even yang memungkinkan pertemuan dengan daerah lain. Gumpalan simpati ini, diharapkan bisa dipetik saat pelaksanaan Porprov nanti. ***
Kamis, 27 November 2008
Menunggu Gebrakan dari Sidoarjo
Apa yang terjadi di Sidoarjo ini bakal memiliki implikasi besar bagi perkembangan sepakbola ke depan. Satu catatan penting bahwa wilayah sepakbola kini bisa disentuh hukum. Sesuatu yang bertahun-tahun menjadi barang asing di pentas sepakbola nasional.
-------------------
Ram Surahman
rambenjeng@gmail.com
Deltras Sidoarjo berpeluang mengawali sebuah perubahan besar di pentas sepakbola nasional. Bukan saja, rekrutmen meyakinkan yang dilancarkan menghadapi putaran dua mendatang, polemik menyangkut mark up kontrak pemain yang kini memasuki wilayah hukum juga menarik dicermati. Adalah George Hadiwiyanto yang menjadi lakon. General Manager (GM) Deltras ini membuka kartu adanya selisih nilai kontrak yang diterima beberapa pemain Deltras pada era sebelumnya. Tak ingin ada masalah hukum di kemudian hari, George kemudian membuka semua ini ke aparat kejaksaan.
Giliran Saiful Illah, manajer Deltras sebelum ini yang dibikin repot. Wakil Bupati Sidoarjo ini sibuk lakukan klarifikasi. Maklum, posisi Pak Wabup seperti disudutkan dengan pengakuan ini. Jangankan menikmati hasilnya, salah satu orang terkaya di Sidoarjo ini justru mengaku nombok miliaran rupiah dari kocek pribadi. Siapa yang benar? Entahlah.
Yang pasti, apapun hasil akhir nanti, apa yang terjadi di Sidoarjo ini bakal memiliki implikasi besar bagi perkembangan sepakbola ke depan. Satu catatan penting bahwa wilayah sepakbola kini bisa disentuh hukum. Sesuatu yang bertahun-tahun menjadi barang asing di pentas sepakbola nasional. Berderet dugaan penyimpangan, kecurangan, penyuapan dan praktek haram lainnya selalu luput dari sergapan aparat hukum kita. Semua selalu diselesaikan 'secara adat' oleh para petinggi sepakbola negeri ini. Alhasil, sepakbola kita seperti negara dalam negara.
Tentu, semua masing ingat bagaimana tudingan penyuapan menerpa Togar Manahan Nero pada pertengahan 2007 lalu. Ketua Komdis PSSI saat itu, dituding menerima uang sogokan sebesar Rp 100 juta dari klub Penajam Medan Jaya. Kendati banyak pihak yang melihat kasus ini cukup terang bederang, toh semua mampu diselesaikan tanpa campur tangan aparat hukum. Pencopotan Togar dari kepengurusan PSSI periode 2007-2011, cukup untuk menutup kasus ini.
Banyak yang menduga, para petinggi PSSI saat itu, memang sangat berkepentingan untuk mencegah campur tangan penegak hukum. Jika itu terjadi, tentu akan menjadi preseden buruk. Bisa-bisa bakal banyak pengelola sepakbola yang masuk penjara. Lho? Ya, semua tahu, sistem keuangan klub saat itu masih dikelola asal-asalan. Apalagi, manisnya duit APBD masih leluasa dinikmati. Tak perlu berpikir untung rugi. Yang penting, bagaimana alokasi dana yang ada bisa dihabiskan tanpa menimbulkan kecurigaan. Pos pengeluaran sama besar dengan penerimaan. Beres.
Jelas, praktek seperti itu, sekarang ini tak bisa lagi dipakai. APBD yang menjadi sumber dana utama sudah dihentikan. Semua klub dituntut cerdas dalam mengelola keuangan. Gilirannya, efesiensi pun tak bisa terrelakkan. Praktek mark up kontrak, beli wasit, suap sana-sini yang di masa lalu menjadi gosip dan bumbu cerita, menjadi kehilangan relevensinya. Logikanya, bagaimana mungkin klub mengurusi 'sisi gelap' itu bila untuk bertahan hidup saja mereka harus ngos-ngosan?
Nah, kasus Sidoarjo ini akan menambah konfidensi sekaligus energi baru bagi para pengelola klub di negeri ini. Mereka bisa makin lantang menolak semua praktek buram. Bukan saja berakibat pada inefesiensi keuangan klub tapi juga konsekwensi hukum dikemudian hari. Jika gerakan menegakkan akal sehat ini menjadi bola salju, pantaslah bagi kita semua berharap peningkatan kualitas sepakbola di negeri ini. ***
-------------------
Ram Surahman
rambenjeng@gmail.com
Deltras Sidoarjo berpeluang mengawali sebuah perubahan besar di pentas sepakbola nasional. Bukan saja, rekrutmen meyakinkan yang dilancarkan menghadapi putaran dua mendatang, polemik menyangkut mark up kontrak pemain yang kini memasuki wilayah hukum juga menarik dicermati. Adalah George Hadiwiyanto yang menjadi lakon. General Manager (GM) Deltras ini membuka kartu adanya selisih nilai kontrak yang diterima beberapa pemain Deltras pada era sebelumnya. Tak ingin ada masalah hukum di kemudian hari, George kemudian membuka semua ini ke aparat kejaksaan.
Giliran Saiful Illah, manajer Deltras sebelum ini yang dibikin repot. Wakil Bupati Sidoarjo ini sibuk lakukan klarifikasi. Maklum, posisi Pak Wabup seperti disudutkan dengan pengakuan ini. Jangankan menikmati hasilnya, salah satu orang terkaya di Sidoarjo ini justru mengaku nombok miliaran rupiah dari kocek pribadi. Siapa yang benar? Entahlah.
Yang pasti, apapun hasil akhir nanti, apa yang terjadi di Sidoarjo ini bakal memiliki implikasi besar bagi perkembangan sepakbola ke depan. Satu catatan penting bahwa wilayah sepakbola kini bisa disentuh hukum. Sesuatu yang bertahun-tahun menjadi barang asing di pentas sepakbola nasional. Berderet dugaan penyimpangan, kecurangan, penyuapan dan praktek haram lainnya selalu luput dari sergapan aparat hukum kita. Semua selalu diselesaikan 'secara adat' oleh para petinggi sepakbola negeri ini. Alhasil, sepakbola kita seperti negara dalam negara.
Tentu, semua masing ingat bagaimana tudingan penyuapan menerpa Togar Manahan Nero pada pertengahan 2007 lalu. Ketua Komdis PSSI saat itu, dituding menerima uang sogokan sebesar Rp 100 juta dari klub Penajam Medan Jaya. Kendati banyak pihak yang melihat kasus ini cukup terang bederang, toh semua mampu diselesaikan tanpa campur tangan aparat hukum. Pencopotan Togar dari kepengurusan PSSI periode 2007-2011, cukup untuk menutup kasus ini.
Banyak yang menduga, para petinggi PSSI saat itu, memang sangat berkepentingan untuk mencegah campur tangan penegak hukum. Jika itu terjadi, tentu akan menjadi preseden buruk. Bisa-bisa bakal banyak pengelola sepakbola yang masuk penjara. Lho? Ya, semua tahu, sistem keuangan klub saat itu masih dikelola asal-asalan. Apalagi, manisnya duit APBD masih leluasa dinikmati. Tak perlu berpikir untung rugi. Yang penting, bagaimana alokasi dana yang ada bisa dihabiskan tanpa menimbulkan kecurigaan. Pos pengeluaran sama besar dengan penerimaan. Beres.
Jelas, praktek seperti itu, sekarang ini tak bisa lagi dipakai. APBD yang menjadi sumber dana utama sudah dihentikan. Semua klub dituntut cerdas dalam mengelola keuangan. Gilirannya, efesiensi pun tak bisa terrelakkan. Praktek mark up kontrak, beli wasit, suap sana-sini yang di masa lalu menjadi gosip dan bumbu cerita, menjadi kehilangan relevensinya. Logikanya, bagaimana mungkin klub mengurusi 'sisi gelap' itu bila untuk bertahan hidup saja mereka harus ngos-ngosan?
Nah, kasus Sidoarjo ini akan menambah konfidensi sekaligus energi baru bagi para pengelola klub di negeri ini. Mereka bisa makin lantang menolak semua praktek buram. Bukan saja berakibat pada inefesiensi keuangan klub tapi juga konsekwensi hukum dikemudian hari. Jika gerakan menegakkan akal sehat ini menjadi bola salju, pantaslah bagi kita semua berharap peningkatan kualitas sepakbola di negeri ini. ***
Rabu, 26 November 2008
Menunggu Munculnya Luca Toni van Persebaya
Ram Surahman
Ram_radarsby@yahoo.com
Di atas kertas, peluang ini sangat besar terjadi. Maklum, di skuad Persebaya saat ini banyak sekali para pemain yang produk asli Persebaya. Sebut saja, Bejo Sugiantoro, Anang Makruf, Mat Halil, Endra Prasetya dan beberapa nama lainnya.
===================
Jangan pernah lupa darimana asalmu. Kalimat bijak ini ternyata mampu menggetarkan hati Luca Toni. Bomber Timnas Azzuri yang kini merumput di Bayern Munchen ini, ternyata paham benar dengan arti masa lalu. Seperti ditulis media-media Italia, Luca Toni kini sedang mengulurkan bantuan pada Modena FC. Salah satu klub di seri B ini tengah mengalami kesulitan finansial. Toni, yang kali pertama merintis karir profesional di klub tersebut, tergerak untuk membantu. Dia siap menyisihkan sebagian nilai transfer 11 juta euro atau sekitar Rp 159,750 miliar yang diterima dari Bayern Munchen pada 2007.
Modena FC memang punya ikatan emosional kuat dengan bomber jangkung ini. Toni dilahirkan di Pavullo nel Frignano, kota kecil di pinggiran Modena, 31 tahun lalu. Di klub ini pula ia merintis karier pertamanya. Toni memperkuat Modena pada 1994-1996. Kala itu masih di Seri C1 alias Divisi IV. Ia bermain 32 kali dan mencetak tujuh gol.
Setelah itu, ia melanglang buana bersama Empoli (1996-1997), Fiorenzuola (1997-1998), Lodigiani (1998-1999), Treviso (1999-2000), Vicenza (2000-2001), Brescia (2001-2003), dan Palermo (2003-2005), Fiorentina (2005-2007).
Cerita dari negeri Spagethi tersebut jelas sangat menyentuh. Bagaimana seorang pemain besar seperti Luca Toni tidak lupa dengan masa lalu dan asal usulnya. Bagi klub-klub bola di Indonesia, kehadiran sosok pemain seperti Luca Toni, sangat diharapkan. Maklum, sebagian besar klub saat ini sedang dibikin sesak nafas oleh tingginya beban keuangan. Semua pada puyeng setelah dana APBD tak bisa lagi dinikmati. Tentu, akan menjadi angin segar bagi klub bila ada pemain yang bersedia dengan sukarela mengulurkan bantuan.
Mungkinkah? Ini yang masih menjadi pertanyaan. Yang pasti, sejauh ini belum ada media yang mengabarkan ‘pengorbanan’ seperti ini. Cerita yang ada baru sebatas pengurus atau manajer yang jual mobil atau cari utangan untuk nambal kebutuhan. (sesuatu yang memang menjadi kewajiban)
Belum munculnya sosok ‘Luca Toni’ di Indonesia, bisa jadi karena kontrak yang diterima pemain kita memang belum gede benar. Nilainya masih belum mencukupi untuk sampai pada tahap membantu. Kendati begitu, dalam situasi sulit seperti sekarang ini, bukan berarti para pemain tak bisa ambil peran. Pengorbanan mereka masih tetap ditunggu dan diharapkan. Salah satunya, kesedian untuk ditinjau ulang nilai kontrak mereka. Langkah ini sudah dilakukan beberapa klub. Seperti Persik Kediri, PSM Makassar dan beberapa klub lainnya. Persebaya, kabarnya bakal menerapkan kebijakan tersebut pada November ini. Nah, menarik ditunggu apakah bakal muncul Luca Toni dari Persebaya? Di atas kertas, peluang ini sangat besar terjadi. Maklum, di skuad Persebaya saat ini banyak sekali para pemain yang produk asli Persebaya. Sebut saja, Bejo Sugiantoro, Anang Makruf, Mat Halil, Endra Prasetya dan beberapa nama lainnya. Bagaimana, rek? ****
Selasa, 25 November 2008
Haji Bonek
Ram Surahman
rambenjeng@gmail.com
Haji bonek. Komentar spontan seorang teman saat membaca berita calon jamaah haji (CJH) asal Surabaya ngamuk kala menunggu jemputan di Mekkah. Seperti yang dilaporkan Radar Surabaya (Sabtu, 22/11), jamaah yang kalap sempat lakukan perusakan komputer dan melukai petugas haji di sana. Masya Allah.
Peristiwa tersebut jelas sangat memprihatinkan. Masak, para tamu Allah, umbar emosional seperti itu. Sebagai seorang muslim yang diberi kesempatan memenuhi panggilan Tuhan-Nya, tentu perilaku seperti ini sama sekali tak bisa ditolelir. Secara teologis, perilaku seperti itu sama sekali tak dibenarkan. Bukankah Allah bersama orang-orang yang sabar? (QS. 2:153)
Kendati begitu, sebutan haji bonek saya kira bukan istilah yang tepat. Bukan saja, bonek –sebutan yang merujuk para perilaku suporter Surabaya- saat ini sudah mulai berubah. Mereka mulai coba menampilkan wajah yang lebih santun dan teduh.
Selain itu, menghantam mereka dengan ayat kesabaran juga kurang bijak.
Seruan menjaga kesabaran tak harus dimaknai lemah seperti itu. Tuhan, tentu tak akan menurunkan ayat ini untuk menjadikan seorang muslim pasif. Terima apa adanya atas segala eksploitasi yang diterima. Justru, ayat tersebut mengandung semangat progresif. Sabar adalah sebuah titik akhir setelah seseorang melakukan ikhtiar dengan sungguh-sungguh. Berusaha semaksimal mungkin demi dapatkan hasil yang maksimal pula. Baru setelah itu berserah diri dengan menjunjung kesabaran.
Dalam tataran ini, sejak di tanah air, para CJH sudah melalui sederet rintangan yang menguji kesabaran. Keputusan untuk datang ke tanah suci jelas tak bisa sekedar Bondho Nekat (Bonek) saja. Dituntut kecukupan finansial untuk bisa membayar Ongkos Naik Haji (ONH) yang cukup mahal. Cukup? Belum. Mereka masih harus antre mendapatkan kepastian berangkat. Belum lagi urusan lain yang tak kalah pelik menyangkut keluarga dan lingkungan sekitar. Sudah tentu, harapan dari sederet pengorbanan tersebut adalah pelayanan yang memuaskan. Sebuah harga yang mestinya setimpal. Sayang, kenyataan di lapangan berbicara lain. Pelayanaan yang didapatkan masih belum optimal.
Ayat di atas harusnya dimaknai secara komprehensif. Pemerintah, selaku regulator sekaligus operator haji, tak bisa menjadikan ayat ini sebagai tameng untuk lakukan eksploitasi pada para CJH. Apalagi hanya dipakai untuk membela diri dari sikap tak profesional dalam pengelolaan manajemen haji. Sederet pengorbanan yang ditunjukkan para CJH, harusnya diimbangi dengan pelayanan yang maksimal dan profesional pula. Baru setelah itu berpasrah diri dengan penuh kesabaran. ***
rambenjeng@gmail.com
Haji bonek. Komentar spontan seorang teman saat membaca berita calon jamaah haji (CJH) asal Surabaya ngamuk kala menunggu jemputan di Mekkah. Seperti yang dilaporkan Radar Surabaya (Sabtu, 22/11), jamaah yang kalap sempat lakukan perusakan komputer dan melukai petugas haji di sana. Masya Allah.
Peristiwa tersebut jelas sangat memprihatinkan. Masak, para tamu Allah, umbar emosional seperti itu. Sebagai seorang muslim yang diberi kesempatan memenuhi panggilan Tuhan-Nya, tentu perilaku seperti ini sama sekali tak bisa ditolelir. Secara teologis, perilaku seperti itu sama sekali tak dibenarkan. Bukankah Allah bersama orang-orang yang sabar? (QS. 2:153)
Kendati begitu, sebutan haji bonek saya kira bukan istilah yang tepat. Bukan saja, bonek –sebutan yang merujuk para perilaku suporter Surabaya- saat ini sudah mulai berubah. Mereka mulai coba menampilkan wajah yang lebih santun dan teduh.
Selain itu, menghantam mereka dengan ayat kesabaran juga kurang bijak.
Seruan menjaga kesabaran tak harus dimaknai lemah seperti itu. Tuhan, tentu tak akan menurunkan ayat ini untuk menjadikan seorang muslim pasif. Terima apa adanya atas segala eksploitasi yang diterima. Justru, ayat tersebut mengandung semangat progresif. Sabar adalah sebuah titik akhir setelah seseorang melakukan ikhtiar dengan sungguh-sungguh. Berusaha semaksimal mungkin demi dapatkan hasil yang maksimal pula. Baru setelah itu berserah diri dengan menjunjung kesabaran.
Dalam tataran ini, sejak di tanah air, para CJH sudah melalui sederet rintangan yang menguji kesabaran. Keputusan untuk datang ke tanah suci jelas tak bisa sekedar Bondho Nekat (Bonek) saja. Dituntut kecukupan finansial untuk bisa membayar Ongkos Naik Haji (ONH) yang cukup mahal. Cukup? Belum. Mereka masih harus antre mendapatkan kepastian berangkat. Belum lagi urusan lain yang tak kalah pelik menyangkut keluarga dan lingkungan sekitar. Sudah tentu, harapan dari sederet pengorbanan tersebut adalah pelayanan yang memuaskan. Sebuah harga yang mestinya setimpal. Sayang, kenyataan di lapangan berbicara lain. Pelayanaan yang didapatkan masih belum optimal.
Ayat di atas harusnya dimaknai secara komprehensif. Pemerintah, selaku regulator sekaligus operator haji, tak bisa menjadikan ayat ini sebagai tameng untuk lakukan eksploitasi pada para CJH. Apalagi hanya dipakai untuk membela diri dari sikap tak profesional dalam pengelolaan manajemen haji. Sederet pengorbanan yang ditunjukkan para CJH, harusnya diimbangi dengan pelayanan yang maksimal dan profesional pula. Baru setelah itu berpasrah diri dengan penuh kesabaran. ***
Rabu, 12 November 2008
Mengurai Lilitan Persoalan Persebaya
Perlu Kesadaran Bersama Memaknai Situasi yang Ada
Kita patut optimis masalah bisa diselesaikan dengan smooth. Tak lagi seheboh kemarin. Syaratnya? Terciptanya kesadaran bersama untuk memaknasi situasi yang ada.
--------------
Ram Surahman
Ram_radarsby@yahoo.com
Plong sudah. Dua kado istmewa diterima warga kota di hari Pahlawan yang jatuh hari ini. Pertama, Bung Tomo, arek Blauran yang dikenal jago memompa semangat para pejuang di masa kemerdekaan dulu, akhirnya dianugerahi gelar Pahlawan. Gelar ini sekaligus mengakhiri ironi yang menyelimuti kota ini, selama 27 tahun terakhir. Ironi karena Surabaya yang mendapat julukan Kota Pahlawan tapi selama itu, belum ada putera terbaik di kota ini yang menyandang gelar Pahlawan.
Kado kedua, didapat para pendukung Persebaya. Ikon kota ini, akhirnya terhindar dari aksi mogok main. Ini setelah satu dari dua bulan gaji yang tertahan bisa diberesi. Walau untuk itu, para pengurus rame-rame menjual barang kesukaan mereka. Walikota Bambang DH rela menjual jeep wrangler yang menjadi kesayangan putra. Sebelumnya, ketua umum Saleh Ismail Mukadar yang selama ini menjadi tumpuan pendanaan, sudah menjual Corolla Altis untuk menutup lubang pengeluaran Persebaya. Tak ketinggalan, ketua panpel Helly P Suyanto yang notabene orang baru di Persebaya, ikut 'menyekolahkan' mobil ranger orange yang menjadi tunggannya selama ini. "Saya memang orang baru. Tapi tak bisa tinggal diam bila Persebaya dililit masalah seperti ini. Berdosa bila saya hanya pangku tangan saja," aku Helly P Suyanto atas keputusan yang diambilnya ini.
Kerelaan berkorban kini menjadi sesuatu yang ditunggu guna menyelamatkan Persebaya. Siapapun. Tak hanya pengurus, jajaran manajemen,pemain maupun suporter kini juga diketuk pengorbanannya guna menyelamatkan ikon kota yang kini sedang berdarah-darah. Tentu, semua dengan kapasitas dan kadar pengorbanan masing-masing.
Yang menggembirakan, pemain sudah mengapresiasi positif atas pengorbanan para pengurus ini. Buktinya, mereka akhirnya sepakat berjuang ke Jogja kendati urusan gaji belum tuntas benar. Pelatih Freddy Muli memastikan pasukannya akan all out menjaga kehormatan Persebaya di dua partai away tersebut. "Tak ada istilah main satu kaki karena urusan gaji. Kami akan jaga sepenuhnya nama besar Persebaya," yakinnya.
Jaminan ini cukup melegakan. Memang, belum sepenuhnya menuntaskan persoalan. Apalagi, pengurus memastikan akan tetap menjalankan konsep rasionalisasi. Bisa saja, riak kembali timbul saat konsep ini diterapkan pada akhir bulan ini.
Kendati begitu, belajar dari apa yang terjadi kemarin, kita patut optimis masalah bisa diselesaikan dengan smooth. Tak lagi seheboh kemarin. Syaratnya? Terciptanya kesadaran bersama untuk memaknasi situasi yang ada.
Konsep rasionalisasi yang digagas pengurus patut dikomunikasikan secara tuntas dan transparan. Kenapa langkah ini yang harus dilakukan. Kenapa prosentase penyesuaian harus sebesar itu? Serta persoalan teknis keuangan lainnya.
Ajak semua elemen tim, membicarakan situasi sulit yang dihadapi sekarang. Ini bukan bermaksud melibatkan pemain dalam masalah secara langsung. Tapi, minimal paham dan mengerti dalam memaknai situasi.
Pemain pun wajib menyambut upaya ini dengan pikiran jernih. Pahami, bahwa situasi sulit tak hanya dihadapi Persebaya. Bisa dikata semua tim juga mengalami problem yang sama. Keputusan keluar dari Persebaya, bisa jadi meninggalkan sesal tiada tara. ***
Kita patut optimis masalah bisa diselesaikan dengan smooth. Tak lagi seheboh kemarin. Syaratnya? Terciptanya kesadaran bersama untuk memaknasi situasi yang ada.
--------------
Ram Surahman
Ram_radarsby@yahoo.com
Plong sudah. Dua kado istmewa diterima warga kota di hari Pahlawan yang jatuh hari ini. Pertama, Bung Tomo, arek Blauran yang dikenal jago memompa semangat para pejuang di masa kemerdekaan dulu, akhirnya dianugerahi gelar Pahlawan. Gelar ini sekaligus mengakhiri ironi yang menyelimuti kota ini, selama 27 tahun terakhir. Ironi karena Surabaya yang mendapat julukan Kota Pahlawan tapi selama itu, belum ada putera terbaik di kota ini yang menyandang gelar Pahlawan.
Kado kedua, didapat para pendukung Persebaya. Ikon kota ini, akhirnya terhindar dari aksi mogok main. Ini setelah satu dari dua bulan gaji yang tertahan bisa diberesi. Walau untuk itu, para pengurus rame-rame menjual barang kesukaan mereka. Walikota Bambang DH rela menjual jeep wrangler yang menjadi kesayangan putra. Sebelumnya, ketua umum Saleh Ismail Mukadar yang selama ini menjadi tumpuan pendanaan, sudah menjual Corolla Altis untuk menutup lubang pengeluaran Persebaya. Tak ketinggalan, ketua panpel Helly P Suyanto yang notabene orang baru di Persebaya, ikut 'menyekolahkan' mobil ranger orange yang menjadi tunggannya selama ini. "Saya memang orang baru. Tapi tak bisa tinggal diam bila Persebaya dililit masalah seperti ini. Berdosa bila saya hanya pangku tangan saja," aku Helly P Suyanto atas keputusan yang diambilnya ini.
Kerelaan berkorban kini menjadi sesuatu yang ditunggu guna menyelamatkan Persebaya. Siapapun. Tak hanya pengurus, jajaran manajemen,pemain maupun suporter kini juga diketuk pengorbanannya guna menyelamatkan ikon kota yang kini sedang berdarah-darah. Tentu, semua dengan kapasitas dan kadar pengorbanan masing-masing.
Yang menggembirakan, pemain sudah mengapresiasi positif atas pengorbanan para pengurus ini. Buktinya, mereka akhirnya sepakat berjuang ke Jogja kendati urusan gaji belum tuntas benar. Pelatih Freddy Muli memastikan pasukannya akan all out menjaga kehormatan Persebaya di dua partai away tersebut. "Tak ada istilah main satu kaki karena urusan gaji. Kami akan jaga sepenuhnya nama besar Persebaya," yakinnya.
Jaminan ini cukup melegakan. Memang, belum sepenuhnya menuntaskan persoalan. Apalagi, pengurus memastikan akan tetap menjalankan konsep rasionalisasi. Bisa saja, riak kembali timbul saat konsep ini diterapkan pada akhir bulan ini.
Kendati begitu, belajar dari apa yang terjadi kemarin, kita patut optimis masalah bisa diselesaikan dengan smooth. Tak lagi seheboh kemarin. Syaratnya? Terciptanya kesadaran bersama untuk memaknasi situasi yang ada.
Konsep rasionalisasi yang digagas pengurus patut dikomunikasikan secara tuntas dan transparan. Kenapa langkah ini yang harus dilakukan. Kenapa prosentase penyesuaian harus sebesar itu? Serta persoalan teknis keuangan lainnya.
Ajak semua elemen tim, membicarakan situasi sulit yang dihadapi sekarang. Ini bukan bermaksud melibatkan pemain dalam masalah secara langsung. Tapi, minimal paham dan mengerti dalam memaknai situasi.
Pemain pun wajib menyambut upaya ini dengan pikiran jernih. Pahami, bahwa situasi sulit tak hanya dihadapi Persebaya. Bisa dikata semua tim juga mengalami problem yang sama. Keputusan keluar dari Persebaya, bisa jadi meninggalkan sesal tiada tara. ***
Senin, 27 Oktober 2008
Arben Asli
Perkenalkan. Ini Ram. Arek Benjeng asli. Kata teman-teman ku di Surabaya, itu daerah kok nggak ada di peta? Apa benar? Nggak salah juga. Soalnya memang jauh banget. Dari Surabaya ada waktu satu jam untuk sampai ke my home.
Tapi, itu tergantung. Maksudnya tergantung lewat mana. Dan, dari Surabaya mana kita bergerak. Sehari-hari, aku lahap rute Benjeng - Stadion Gelora 10 Nopember. Yang satu ini, tempat aku mengais rupiah. Udah gitu, baru bergerak ke daerah A Yani. Sampai malam baru balik lagi ke Benjeng. Karena di Selatan, rute pun berubah. Aku susuri Ketintang, Wiyung, Lifah, terus Menganti. Belok kanan ketemu Boboh. Sambung belok kiri, seberangi jembatan ketemu Morowudi. Belok kiri lagi 15 menit kemudian ketemu sama BENJENG.
Eit, kalau ada waktu. Pas libur atau apa, asyik juga ikuti rute ku ini.
Tapi, itu tergantung. Maksudnya tergantung lewat mana. Dan, dari Surabaya mana kita bergerak. Sehari-hari, aku lahap rute Benjeng - Stadion Gelora 10 Nopember. Yang satu ini, tempat aku mengais rupiah. Udah gitu, baru bergerak ke daerah A Yani. Sampai malam baru balik lagi ke Benjeng. Karena di Selatan, rute pun berubah. Aku susuri Ketintang, Wiyung, Lifah, terus Menganti. Belok kanan ketemu Boboh. Sambung belok kiri, seberangi jembatan ketemu Morowudi. Belok kiri lagi 15 menit kemudian ketemu sama BENJENG.
Eit, kalau ada waktu. Pas libur atau apa, asyik juga ikuti rute ku ini.
Langganan:
Postingan (Atom)