Kamis, 27 November 2008

Menunggu Gebrakan dari Sidoarjo

Apa yang terjadi di Sidoarjo ini bakal memiliki implikasi besar bagi perkembangan sepakbola ke depan. Satu catatan penting bahwa wilayah sepakbola kini bisa disentuh hukum. Sesuatu yang bertahun-tahun menjadi barang asing di pentas sepakbola nasional.
-------------------
Ram Surahman
rambenjeng@gmail.com

Deltras Sidoarjo berpeluang mengawali sebuah perubahan besar di pentas sepakbola nasional. Bukan saja, rekrutmen meyakinkan yang dilancarkan menghadapi putaran dua mendatang, polemik menyangkut mark up kontrak pemain yang kini memasuki wilayah hukum juga menarik dicermati. Adalah George Hadiwiyanto yang menjadi lakon. General Manager (GM) Deltras ini membuka kartu adanya selisih nilai kontrak yang diterima beberapa pemain Deltras pada era sebelumnya. Tak ingin ada masalah hukum di kemudian hari, George kemudian membuka semua ini ke aparat kejaksaan.
Giliran Saiful Illah, manajer Deltras sebelum ini yang dibikin repot. Wakil Bupati Sidoarjo ini sibuk lakukan klarifikasi. Maklum, posisi Pak Wabup seperti disudutkan dengan pengakuan ini. Jangankan menikmati hasilnya, salah satu orang terkaya di Sidoarjo ini justru mengaku nombok miliaran rupiah dari kocek pribadi. Siapa yang benar? Entahlah.
Yang pasti, apapun hasil akhir nanti, apa yang terjadi di Sidoarjo ini bakal memiliki implikasi besar bagi perkembangan sepakbola ke depan. Satu catatan penting bahwa wilayah sepakbola kini bisa disentuh hukum. Sesuatu yang bertahun-tahun menjadi barang asing di pentas sepakbola nasional. Berderet dugaan penyimpangan, kecurangan, penyuapan dan praktek haram lainnya selalu luput dari sergapan aparat hukum kita. Semua selalu diselesaikan 'secara adat' oleh para petinggi sepakbola negeri ini. Alhasil, sepakbola kita seperti negara dalam negara.
Tentu, semua masing ingat bagaimana tudingan penyuapan menerpa Togar Manahan Nero pada pertengahan 2007 lalu. Ketua Komdis PSSI saat itu, dituding menerima uang sogokan sebesar Rp 100 juta dari klub Penajam Medan Jaya. Kendati banyak pihak yang melihat kasus ini cukup terang bederang, toh semua mampu diselesaikan tanpa campur tangan aparat hukum. Pencopotan Togar dari kepengurusan PSSI periode 2007-2011, cukup untuk menutup kasus ini.
Banyak yang menduga, para petinggi PSSI saat itu, memang sangat berkepentingan untuk mencegah campur tangan penegak hukum. Jika itu terjadi, tentu akan menjadi preseden buruk. Bisa-bisa bakal banyak pengelola sepakbola yang masuk penjara. Lho? Ya, semua tahu, sistem keuangan klub saat itu masih dikelola asal-asalan. Apalagi, manisnya duit APBD masih leluasa dinikmati. Tak perlu berpikir untung rugi. Yang penting, bagaimana alokasi dana yang ada bisa dihabiskan tanpa menimbulkan kecurigaan. Pos pengeluaran sama besar dengan penerimaan. Beres.
Jelas, praktek seperti itu, sekarang ini tak bisa lagi dipakai. APBD yang menjadi sumber dana utama sudah dihentikan. Semua klub dituntut cerdas dalam mengelola keuangan. Gilirannya, efesiensi pun tak bisa terrelakkan. Praktek mark up kontrak, beli wasit, suap sana-sini yang di masa lalu menjadi gosip dan bumbu cerita, menjadi kehilangan relevensinya. Logikanya, bagaimana mungkin klub mengurusi 'sisi gelap' itu bila untuk bertahan hidup saja mereka harus ngos-ngosan?
Nah, kasus Sidoarjo ini akan menambah konfidensi sekaligus energi baru bagi para pengelola klub di negeri ini. Mereka bisa makin lantang menolak semua praktek buram. Bukan saja berakibat pada inefesiensi keuangan klub tapi juga konsekwensi hukum dikemudian hari. Jika gerakan menegakkan akal sehat ini menjadi bola salju, pantaslah bagi kita semua berharap peningkatan kualitas sepakbola di negeri ini. ***

1 komentar:

bhayangkarafootball.blogspot.co.id mengatakan...

iki niat gak ngawe blog.gak menarik blas. gak onok fotone blass. gak menarik blass