Selasa, 25 November 2008

Haji Bonek

Ram Surahman
rambenjeng@gmail.com

Haji bonek. Komentar spontan seorang teman saat membaca berita calon jamaah haji (CJH) asal Surabaya ngamuk kala menunggu jemputan di Mekkah. Seperti yang dilaporkan Radar Surabaya (Sabtu, 22/11), jamaah yang kalap sempat lakukan perusakan komputer dan melukai petugas haji di sana. Masya Allah.
Peristiwa tersebut jelas sangat memprihatinkan. Masak, para tamu Allah, umbar emosional seperti itu. Sebagai seorang muslim yang diberi kesempatan memenuhi panggilan Tuhan-Nya, tentu perilaku seperti ini sama sekali tak bisa ditolelir. Secara teologis, perilaku seperti itu sama sekali tak dibenarkan. Bukankah Allah bersama orang-orang yang sabar? (QS. 2:153)
Kendati begitu, sebutan haji bonek saya kira bukan istilah yang tepat. Bukan saja, bonek –sebutan yang merujuk para perilaku suporter Surabaya- saat ini sudah mulai berubah. Mereka mulai coba menampilkan wajah yang lebih santun dan teduh.
Selain itu, menghantam mereka dengan ayat kesabaran juga kurang bijak.
Seruan menjaga kesabaran tak harus dimaknai lemah seperti itu. Tuhan, tentu tak akan menurunkan ayat ini untuk menjadikan seorang muslim pasif. Terima apa adanya atas segala eksploitasi yang diterima. Justru, ayat tersebut mengandung semangat progresif. Sabar adalah sebuah titik akhir setelah seseorang melakukan ikhtiar dengan sungguh-sungguh. Berusaha semaksimal mungkin demi dapatkan hasil yang maksimal pula. Baru setelah itu berserah diri dengan menjunjung kesabaran.
Dalam tataran ini, sejak di tanah air, para CJH sudah melalui sederet rintangan yang menguji kesabaran. Keputusan untuk datang ke tanah suci jelas tak bisa sekedar Bondho Nekat (Bonek) saja. Dituntut kecukupan finansial untuk bisa membayar Ongkos Naik Haji (ONH) yang cukup mahal. Cukup? Belum. Mereka masih harus antre mendapatkan kepastian berangkat. Belum lagi urusan lain yang tak kalah pelik menyangkut keluarga dan lingkungan sekitar. Sudah tentu, harapan dari sederet pengorbanan tersebut adalah pelayanan yang memuaskan. Sebuah harga yang mestinya setimpal. Sayang, kenyataan di lapangan berbicara lain. Pelayanaan yang didapatkan masih belum optimal.
Ayat di atas harusnya dimaknai secara komprehensif. Pemerintah, selaku regulator sekaligus operator haji, tak bisa menjadikan ayat ini sebagai tameng untuk lakukan eksploitasi pada para CJH. Apalagi hanya dipakai untuk membela diri dari sikap tak profesional dalam pengelolaan manajemen haji. Sederet pengorbanan yang ditunjukkan para CJH, harusnya diimbangi dengan pelayanan yang maksimal dan profesional pula. Baru setelah itu berpasrah diri dengan penuh kesabaran. ***

Tidak ada komentar: