Selasa, 23 Desember 2008

Melihat Indonesia Mini di Suryanaga

Ram Surahman

Tionghoa. Kata itu barangkali yang cukup identik dengan Perkumpulan Olahraga (POR) Suryanaga. Pengaitan ini memang tak salah. Jejak historis menunjukkan fakta seperti itu. POR Tiong Hwa yang dibentuk pada 1 Januari 1908 lampau adalah cikal bakal perkumpulan ini. Nah, memasuki usia seabad, masihkah relevan pengaitan ini?

Jarang ada sebuah perkumpulan olahraga (POR) bisa menginjak usia sampai satu abad lamanya. Di daratan Eropa, kisah manis seperti ini barangkali bisa didengar dari klub-klub sepakbola. Seperti Real Madrid di Spanyol atau Inter Milan di Italia. Maklum, butuh tenaga spartan serta keuletan luar biasa agar bisa bertahan sepanjang waktu tersebut. Maklum, butuh kepiawaian lebih untuk mengawal organisasi melewati setiap riak yang terjadi. Ini yang sulit.
Di Indonesia? Suryanaga termasuk sedikit perkumpulan yang mampu menorehkan catatan seperti itu. Selain itu, ada juga POR UMS yang sudah menapak usia satu abad lebih. Perkumpulan dengan nama Union Makes Strenght (UMS) didirikan pada 15 Desember 1905. Lebih tua dari Suryanaga. Kendati begitu, perkembangan perkumpulan ini tak semaju POR Suryanaga.
Sejatinya, melihat jejak historis perkumpulan ini, sulit dipercaya Suryanaga mampu eksis sampai satu abad lamanya. Bagaimana tidak, POR Tiong Hwa yang menjadi cikal bakal organisasi ini lahir dari semangat primordialisme.
Perkumpulan ini menjadi wadah kaum Tionghoa penikmat olahraga senam pada masa itu. Padahal, jamak diketahui, organisasi yang berbasis kesukuan dan ikatan-ikatan eksklusifisme lainnya, seringkali tak berumur panjang. Kalaupun tetap eksis, biasanya mulai redup ditelan perkembangan jaman.
Apa resepnya? Keluwesan, disebut Yacob Rusdianto, ketua harian POR Suryanaga menjadi kunci eksisnya perkumpulan ini. Sifat yang diambil dari filosofi seekor naga tersebut, mampu menyelamatkan organisasi ini dari setiap cobaan yang datang. Dari yang ringan sampai yang coba mengancam eksistensinya.
Lihat saja catatan sejarah yang mengiringi perjalanan Suryanaga. Bermula dari POR Tiong Hwa pada 1908, selubung eksklusifitas coba disibak dengan mengganti nama menjadi Naga Kuning pada 1959. Harapan pergantian agar terlihat lebih ’meng-Indonesia’ ini tak berumur lama. Tujuh tahun kemudian, ketatnya tekanan penguasa saat itu yang mengatasnamakan ’pembauran’, lahir Keppres no 623/Pr/66, tertanggal 9 Mei Tahun 1966.
Keputusan ini sekaligus menandai nama Suryanaga hingga kini. Hebatnya, tekanan ini tak dihadapi secara emosional dan frontal. Secara cerdas, tekanan ini dijawab dengan prestasi di lapangan. Salah satunya, seperti yang ditunjukkan Njoo Kim Bie, ikon bulutangkis nasional dari Suryanaga.
Kibasan raket pemilik nama Koesbianto Setiadharma Atmaja ini mampu membuat kalangan istana terpesona. Deretan penghargaan diterima. Salah satunya tanda kehormatan dari LB Moerdani (saat itu, Menhankam).
Ini sekaligus menjadi pengakuan akan kehebatan dan eksistensi perkumpulan ini. ’’Dari awal, komitmen akan ke-Indonesia-an bagi kami sudah final. Karenanya, setiap dinamika yang terjadi ketika itu, kami secara lentur mampu mengimbangi,’’ urai Yacob.
Sikap luwes bisa diterapkan kapanpun, karena, sejak awal, tambah Yacob, perkumpulan ini memang tidak fanatis dan tertutup amat. Bahwa cikal bakal organisasi ini didirikan warga Tionghoa adalah fakta yang tak terbantah.
Hanya saja, jika dibedah lebih lanjut, kelahiran POR Tiong Hwa saat itu, lebih pada karena produk situasi dibanding pertimbangan etnis. Penjajah Belanda saat itu, memang sengaja mendorong munculnya banyak organisasi dengan basis etnis maupun suku tertentu. Pasalnya, ini akan memermudah Belanda memecah belah (devide et impera).
Perkembangan di era modern, makin memertegas argumentasi ini. POR Suryanaga kini laksana Indonesia Mini. Sebuah perkumpulan dengan multikultural. Siapapun dengan latar belakang apapun bisa dijumpai di sana.
Di bukutangkis misalnya, dari 300 atlet yang tergabung saat ini, sekitar 90 persen malah berasal dari latar belakang keluarga yang beragam. Sepakbola lebih dahsyat lagi. Di Perkumpulan Sepakbola (PS) Suryanaga yang kini kandidat kuat juara kompetisi kelas utama PSSI Surabaya, justru cukup sulit menjumpai pemain keturunan Tionghoa yang asyik menari-nari di Stadion Gelora 10 Nopember.
Padahal, dulu semasa masih bernama Naga Kuning, banyak pemain hebat lahir. ’’Bagi kami, tak penting warna kulit seorang pemain. Yang terpenting, dia punya skill dan kemampuan bagus di lapangan. Siapapun dia, bagi kami dia adalah aset yang harus dipertahankan,’’ terang Michel, Pengelola PS Suryanaga saat ini.
’’Malah, tahun 70-an lalu, Sepakbola Suryanaga dipimpin keturunan Arab. Namanya Thalib Bob Said,’’ tambah Yacob, seakan mempertegas pendapat juniornya ini.
Ke-bhineka-an ini mampu dirangkai mulus karena bersendi semangat fair play dan sportifitas. Dan, prestasi, telah disepakati menjadi tolok ukur yang tak bisa ditawar. Sepanjang mampu dan berprestasi, seseorang bisa mencapai posisi puncak dan dapatkan harumnya puja-puji. ’’Saya dulu mendapat perlakuan yang sama. Prestasi jualah yang pada akhirnya menjadi pembeda,’’ kisah Sri Wijanti (56), kini salah satu tim pelatih PB Suryanaga.
Sri Wijanti, termasuk generasi pertama non Tionghoa yang ikut membawa harum Suryanaga pada tahun 70-an. Ibu dua anak kelahiran Tulungagung ini memutuskan hijrah ke Suryanaga untuk mengoptimalkan kemampuan. ’’Waktu itu, saya pilih Suryanaga karena terkenal melahirkan para pebulutangkis yang hebat. Sama sekali ndak ada pikiran bahwa saya akan diperlakukan berbeda. Dan, terbukti sampai saat ini. Walau saya sudah lama pensiun, toh tenaga dan pikiran saya masih dipakai,’’ jelas wanita yang kini masuk dalam pemandu bakat di kepengurusan PB Suryanaga Jatim ini.
Kini, seabad telah dilewati. Dengan harmoni yang ditunjukkan selama ini, POR Suryanaga sepertinya bakal tetap eksis dan terus mengukir prestasi emas sepanjang jaman. Viva POR Suryanaga.(*)

rambenjeng@gmail.com

Tidak ada komentar: