Apa yang terjadi di Sidoarjo ini bakal memiliki implikasi besar bagi perkembangan sepakbola ke depan. Satu catatan penting bahwa wilayah sepakbola kini bisa disentuh hukum. Sesuatu yang bertahun-tahun menjadi barang asing di pentas sepakbola nasional.
-------------------
Ram Surahman
rambenjeng@gmail.com
Deltras Sidoarjo berpeluang mengawali sebuah perubahan besar di pentas sepakbola nasional. Bukan saja, rekrutmen meyakinkan yang dilancarkan menghadapi putaran dua mendatang, polemik menyangkut mark up kontrak pemain yang kini memasuki wilayah hukum juga menarik dicermati. Adalah George Hadiwiyanto yang menjadi lakon. General Manager (GM) Deltras ini membuka kartu adanya selisih nilai kontrak yang diterima beberapa pemain Deltras pada era sebelumnya. Tak ingin ada masalah hukum di kemudian hari, George kemudian membuka semua ini ke aparat kejaksaan.
Giliran Saiful Illah, manajer Deltras sebelum ini yang dibikin repot. Wakil Bupati Sidoarjo ini sibuk lakukan klarifikasi. Maklum, posisi Pak Wabup seperti disudutkan dengan pengakuan ini. Jangankan menikmati hasilnya, salah satu orang terkaya di Sidoarjo ini justru mengaku nombok miliaran rupiah dari kocek pribadi. Siapa yang benar? Entahlah.
Yang pasti, apapun hasil akhir nanti, apa yang terjadi di Sidoarjo ini bakal memiliki implikasi besar bagi perkembangan sepakbola ke depan. Satu catatan penting bahwa wilayah sepakbola kini bisa disentuh hukum. Sesuatu yang bertahun-tahun menjadi barang asing di pentas sepakbola nasional. Berderet dugaan penyimpangan, kecurangan, penyuapan dan praktek haram lainnya selalu luput dari sergapan aparat hukum kita. Semua selalu diselesaikan 'secara adat' oleh para petinggi sepakbola negeri ini. Alhasil, sepakbola kita seperti negara dalam negara.
Tentu, semua masing ingat bagaimana tudingan penyuapan menerpa Togar Manahan Nero pada pertengahan 2007 lalu. Ketua Komdis PSSI saat itu, dituding menerima uang sogokan sebesar Rp 100 juta dari klub Penajam Medan Jaya. Kendati banyak pihak yang melihat kasus ini cukup terang bederang, toh semua mampu diselesaikan tanpa campur tangan aparat hukum. Pencopotan Togar dari kepengurusan PSSI periode 2007-2011, cukup untuk menutup kasus ini.
Banyak yang menduga, para petinggi PSSI saat itu, memang sangat berkepentingan untuk mencegah campur tangan penegak hukum. Jika itu terjadi, tentu akan menjadi preseden buruk. Bisa-bisa bakal banyak pengelola sepakbola yang masuk penjara. Lho? Ya, semua tahu, sistem keuangan klub saat itu masih dikelola asal-asalan. Apalagi, manisnya duit APBD masih leluasa dinikmati. Tak perlu berpikir untung rugi. Yang penting, bagaimana alokasi dana yang ada bisa dihabiskan tanpa menimbulkan kecurigaan. Pos pengeluaran sama besar dengan penerimaan. Beres.
Jelas, praktek seperti itu, sekarang ini tak bisa lagi dipakai. APBD yang menjadi sumber dana utama sudah dihentikan. Semua klub dituntut cerdas dalam mengelola keuangan. Gilirannya, efesiensi pun tak bisa terrelakkan. Praktek mark up kontrak, beli wasit, suap sana-sini yang di masa lalu menjadi gosip dan bumbu cerita, menjadi kehilangan relevensinya. Logikanya, bagaimana mungkin klub mengurusi 'sisi gelap' itu bila untuk bertahan hidup saja mereka harus ngos-ngosan?
Nah, kasus Sidoarjo ini akan menambah konfidensi sekaligus energi baru bagi para pengelola klub di negeri ini. Mereka bisa makin lantang menolak semua praktek buram. Bukan saja berakibat pada inefesiensi keuangan klub tapi juga konsekwensi hukum dikemudian hari. Jika gerakan menegakkan akal sehat ini menjadi bola salju, pantaslah bagi kita semua berharap peningkatan kualitas sepakbola di negeri ini. ***
Kamis, 27 November 2008
Rabu, 26 November 2008
Menunggu Munculnya Luca Toni van Persebaya
Ram Surahman
Ram_radarsby@yahoo.com
Di atas kertas, peluang ini sangat besar terjadi. Maklum, di skuad Persebaya saat ini banyak sekali para pemain yang produk asli Persebaya. Sebut saja, Bejo Sugiantoro, Anang Makruf, Mat Halil, Endra Prasetya dan beberapa nama lainnya.
===================
Jangan pernah lupa darimana asalmu. Kalimat bijak ini ternyata mampu menggetarkan hati Luca Toni. Bomber Timnas Azzuri yang kini merumput di Bayern Munchen ini, ternyata paham benar dengan arti masa lalu. Seperti ditulis media-media Italia, Luca Toni kini sedang mengulurkan bantuan pada Modena FC. Salah satu klub di seri B ini tengah mengalami kesulitan finansial. Toni, yang kali pertama merintis karir profesional di klub tersebut, tergerak untuk membantu. Dia siap menyisihkan sebagian nilai transfer 11 juta euro atau sekitar Rp 159,750 miliar yang diterima dari Bayern Munchen pada 2007.
Modena FC memang punya ikatan emosional kuat dengan bomber jangkung ini. Toni dilahirkan di Pavullo nel Frignano, kota kecil di pinggiran Modena, 31 tahun lalu. Di klub ini pula ia merintis karier pertamanya. Toni memperkuat Modena pada 1994-1996. Kala itu masih di Seri C1 alias Divisi IV. Ia bermain 32 kali dan mencetak tujuh gol.
Setelah itu, ia melanglang buana bersama Empoli (1996-1997), Fiorenzuola (1997-1998), Lodigiani (1998-1999), Treviso (1999-2000), Vicenza (2000-2001), Brescia (2001-2003), dan Palermo (2003-2005), Fiorentina (2005-2007).
Cerita dari negeri Spagethi tersebut jelas sangat menyentuh. Bagaimana seorang pemain besar seperti Luca Toni tidak lupa dengan masa lalu dan asal usulnya. Bagi klub-klub bola di Indonesia, kehadiran sosok pemain seperti Luca Toni, sangat diharapkan. Maklum, sebagian besar klub saat ini sedang dibikin sesak nafas oleh tingginya beban keuangan. Semua pada puyeng setelah dana APBD tak bisa lagi dinikmati. Tentu, akan menjadi angin segar bagi klub bila ada pemain yang bersedia dengan sukarela mengulurkan bantuan.
Mungkinkah? Ini yang masih menjadi pertanyaan. Yang pasti, sejauh ini belum ada media yang mengabarkan ‘pengorbanan’ seperti ini. Cerita yang ada baru sebatas pengurus atau manajer yang jual mobil atau cari utangan untuk nambal kebutuhan. (sesuatu yang memang menjadi kewajiban)
Belum munculnya sosok ‘Luca Toni’ di Indonesia, bisa jadi karena kontrak yang diterima pemain kita memang belum gede benar. Nilainya masih belum mencukupi untuk sampai pada tahap membantu. Kendati begitu, dalam situasi sulit seperti sekarang ini, bukan berarti para pemain tak bisa ambil peran. Pengorbanan mereka masih tetap ditunggu dan diharapkan. Salah satunya, kesedian untuk ditinjau ulang nilai kontrak mereka. Langkah ini sudah dilakukan beberapa klub. Seperti Persik Kediri, PSM Makassar dan beberapa klub lainnya. Persebaya, kabarnya bakal menerapkan kebijakan tersebut pada November ini. Nah, menarik ditunggu apakah bakal muncul Luca Toni dari Persebaya? Di atas kertas, peluang ini sangat besar terjadi. Maklum, di skuad Persebaya saat ini banyak sekali para pemain yang produk asli Persebaya. Sebut saja, Bejo Sugiantoro, Anang Makruf, Mat Halil, Endra Prasetya dan beberapa nama lainnya. Bagaimana, rek? ****
Selasa, 25 November 2008
Haji Bonek
Ram Surahman
rambenjeng@gmail.com
Haji bonek. Komentar spontan seorang teman saat membaca berita calon jamaah haji (CJH) asal Surabaya ngamuk kala menunggu jemputan di Mekkah. Seperti yang dilaporkan Radar Surabaya (Sabtu, 22/11), jamaah yang kalap sempat lakukan perusakan komputer dan melukai petugas haji di sana. Masya Allah.
Peristiwa tersebut jelas sangat memprihatinkan. Masak, para tamu Allah, umbar emosional seperti itu. Sebagai seorang muslim yang diberi kesempatan memenuhi panggilan Tuhan-Nya, tentu perilaku seperti ini sama sekali tak bisa ditolelir. Secara teologis, perilaku seperti itu sama sekali tak dibenarkan. Bukankah Allah bersama orang-orang yang sabar? (QS. 2:153)
Kendati begitu, sebutan haji bonek saya kira bukan istilah yang tepat. Bukan saja, bonek –sebutan yang merujuk para perilaku suporter Surabaya- saat ini sudah mulai berubah. Mereka mulai coba menampilkan wajah yang lebih santun dan teduh.
Selain itu, menghantam mereka dengan ayat kesabaran juga kurang bijak.
Seruan menjaga kesabaran tak harus dimaknai lemah seperti itu. Tuhan, tentu tak akan menurunkan ayat ini untuk menjadikan seorang muslim pasif. Terima apa adanya atas segala eksploitasi yang diterima. Justru, ayat tersebut mengandung semangat progresif. Sabar adalah sebuah titik akhir setelah seseorang melakukan ikhtiar dengan sungguh-sungguh. Berusaha semaksimal mungkin demi dapatkan hasil yang maksimal pula. Baru setelah itu berserah diri dengan menjunjung kesabaran.
Dalam tataran ini, sejak di tanah air, para CJH sudah melalui sederet rintangan yang menguji kesabaran. Keputusan untuk datang ke tanah suci jelas tak bisa sekedar Bondho Nekat (Bonek) saja. Dituntut kecukupan finansial untuk bisa membayar Ongkos Naik Haji (ONH) yang cukup mahal. Cukup? Belum. Mereka masih harus antre mendapatkan kepastian berangkat. Belum lagi urusan lain yang tak kalah pelik menyangkut keluarga dan lingkungan sekitar. Sudah tentu, harapan dari sederet pengorbanan tersebut adalah pelayanan yang memuaskan. Sebuah harga yang mestinya setimpal. Sayang, kenyataan di lapangan berbicara lain. Pelayanaan yang didapatkan masih belum optimal.
Ayat di atas harusnya dimaknai secara komprehensif. Pemerintah, selaku regulator sekaligus operator haji, tak bisa menjadikan ayat ini sebagai tameng untuk lakukan eksploitasi pada para CJH. Apalagi hanya dipakai untuk membela diri dari sikap tak profesional dalam pengelolaan manajemen haji. Sederet pengorbanan yang ditunjukkan para CJH, harusnya diimbangi dengan pelayanan yang maksimal dan profesional pula. Baru setelah itu berpasrah diri dengan penuh kesabaran. ***
rambenjeng@gmail.com
Haji bonek. Komentar spontan seorang teman saat membaca berita calon jamaah haji (CJH) asal Surabaya ngamuk kala menunggu jemputan di Mekkah. Seperti yang dilaporkan Radar Surabaya (Sabtu, 22/11), jamaah yang kalap sempat lakukan perusakan komputer dan melukai petugas haji di sana. Masya Allah.
Peristiwa tersebut jelas sangat memprihatinkan. Masak, para tamu Allah, umbar emosional seperti itu. Sebagai seorang muslim yang diberi kesempatan memenuhi panggilan Tuhan-Nya, tentu perilaku seperti ini sama sekali tak bisa ditolelir. Secara teologis, perilaku seperti itu sama sekali tak dibenarkan. Bukankah Allah bersama orang-orang yang sabar? (QS. 2:153)
Kendati begitu, sebutan haji bonek saya kira bukan istilah yang tepat. Bukan saja, bonek –sebutan yang merujuk para perilaku suporter Surabaya- saat ini sudah mulai berubah. Mereka mulai coba menampilkan wajah yang lebih santun dan teduh.
Selain itu, menghantam mereka dengan ayat kesabaran juga kurang bijak.
Seruan menjaga kesabaran tak harus dimaknai lemah seperti itu. Tuhan, tentu tak akan menurunkan ayat ini untuk menjadikan seorang muslim pasif. Terima apa adanya atas segala eksploitasi yang diterima. Justru, ayat tersebut mengandung semangat progresif. Sabar adalah sebuah titik akhir setelah seseorang melakukan ikhtiar dengan sungguh-sungguh. Berusaha semaksimal mungkin demi dapatkan hasil yang maksimal pula. Baru setelah itu berserah diri dengan menjunjung kesabaran.
Dalam tataran ini, sejak di tanah air, para CJH sudah melalui sederet rintangan yang menguji kesabaran. Keputusan untuk datang ke tanah suci jelas tak bisa sekedar Bondho Nekat (Bonek) saja. Dituntut kecukupan finansial untuk bisa membayar Ongkos Naik Haji (ONH) yang cukup mahal. Cukup? Belum. Mereka masih harus antre mendapatkan kepastian berangkat. Belum lagi urusan lain yang tak kalah pelik menyangkut keluarga dan lingkungan sekitar. Sudah tentu, harapan dari sederet pengorbanan tersebut adalah pelayanan yang memuaskan. Sebuah harga yang mestinya setimpal. Sayang, kenyataan di lapangan berbicara lain. Pelayanaan yang didapatkan masih belum optimal.
Ayat di atas harusnya dimaknai secara komprehensif. Pemerintah, selaku regulator sekaligus operator haji, tak bisa menjadikan ayat ini sebagai tameng untuk lakukan eksploitasi pada para CJH. Apalagi hanya dipakai untuk membela diri dari sikap tak profesional dalam pengelolaan manajemen haji. Sederet pengorbanan yang ditunjukkan para CJH, harusnya diimbangi dengan pelayanan yang maksimal dan profesional pula. Baru setelah itu berpasrah diri dengan penuh kesabaran. ***
Rabu, 12 November 2008
Mengurai Lilitan Persoalan Persebaya
Perlu Kesadaran Bersama Memaknai Situasi yang Ada
Kita patut optimis masalah bisa diselesaikan dengan smooth. Tak lagi seheboh kemarin. Syaratnya? Terciptanya kesadaran bersama untuk memaknasi situasi yang ada.
--------------
Ram Surahman
Ram_radarsby@yahoo.com
Plong sudah. Dua kado istmewa diterima warga kota di hari Pahlawan yang jatuh hari ini. Pertama, Bung Tomo, arek Blauran yang dikenal jago memompa semangat para pejuang di masa kemerdekaan dulu, akhirnya dianugerahi gelar Pahlawan. Gelar ini sekaligus mengakhiri ironi yang menyelimuti kota ini, selama 27 tahun terakhir. Ironi karena Surabaya yang mendapat julukan Kota Pahlawan tapi selama itu, belum ada putera terbaik di kota ini yang menyandang gelar Pahlawan.
Kado kedua, didapat para pendukung Persebaya. Ikon kota ini, akhirnya terhindar dari aksi mogok main. Ini setelah satu dari dua bulan gaji yang tertahan bisa diberesi. Walau untuk itu, para pengurus rame-rame menjual barang kesukaan mereka. Walikota Bambang DH rela menjual jeep wrangler yang menjadi kesayangan putra. Sebelumnya, ketua umum Saleh Ismail Mukadar yang selama ini menjadi tumpuan pendanaan, sudah menjual Corolla Altis untuk menutup lubang pengeluaran Persebaya. Tak ketinggalan, ketua panpel Helly P Suyanto yang notabene orang baru di Persebaya, ikut 'menyekolahkan' mobil ranger orange yang menjadi tunggannya selama ini. "Saya memang orang baru. Tapi tak bisa tinggal diam bila Persebaya dililit masalah seperti ini. Berdosa bila saya hanya pangku tangan saja," aku Helly P Suyanto atas keputusan yang diambilnya ini.
Kerelaan berkorban kini menjadi sesuatu yang ditunggu guna menyelamatkan Persebaya. Siapapun. Tak hanya pengurus, jajaran manajemen,pemain maupun suporter kini juga diketuk pengorbanannya guna menyelamatkan ikon kota yang kini sedang berdarah-darah. Tentu, semua dengan kapasitas dan kadar pengorbanan masing-masing.
Yang menggembirakan, pemain sudah mengapresiasi positif atas pengorbanan para pengurus ini. Buktinya, mereka akhirnya sepakat berjuang ke Jogja kendati urusan gaji belum tuntas benar. Pelatih Freddy Muli memastikan pasukannya akan all out menjaga kehormatan Persebaya di dua partai away tersebut. "Tak ada istilah main satu kaki karena urusan gaji. Kami akan jaga sepenuhnya nama besar Persebaya," yakinnya.
Jaminan ini cukup melegakan. Memang, belum sepenuhnya menuntaskan persoalan. Apalagi, pengurus memastikan akan tetap menjalankan konsep rasionalisasi. Bisa saja, riak kembali timbul saat konsep ini diterapkan pada akhir bulan ini.
Kendati begitu, belajar dari apa yang terjadi kemarin, kita patut optimis masalah bisa diselesaikan dengan smooth. Tak lagi seheboh kemarin. Syaratnya? Terciptanya kesadaran bersama untuk memaknasi situasi yang ada.
Konsep rasionalisasi yang digagas pengurus patut dikomunikasikan secara tuntas dan transparan. Kenapa langkah ini yang harus dilakukan. Kenapa prosentase penyesuaian harus sebesar itu? Serta persoalan teknis keuangan lainnya.
Ajak semua elemen tim, membicarakan situasi sulit yang dihadapi sekarang. Ini bukan bermaksud melibatkan pemain dalam masalah secara langsung. Tapi, minimal paham dan mengerti dalam memaknai situasi.
Pemain pun wajib menyambut upaya ini dengan pikiran jernih. Pahami, bahwa situasi sulit tak hanya dihadapi Persebaya. Bisa dikata semua tim juga mengalami problem yang sama. Keputusan keluar dari Persebaya, bisa jadi meninggalkan sesal tiada tara. ***
Kita patut optimis masalah bisa diselesaikan dengan smooth. Tak lagi seheboh kemarin. Syaratnya? Terciptanya kesadaran bersama untuk memaknasi situasi yang ada.
--------------
Ram Surahman
Ram_radarsby@yahoo.com
Plong sudah. Dua kado istmewa diterima warga kota di hari Pahlawan yang jatuh hari ini. Pertama, Bung Tomo, arek Blauran yang dikenal jago memompa semangat para pejuang di masa kemerdekaan dulu, akhirnya dianugerahi gelar Pahlawan. Gelar ini sekaligus mengakhiri ironi yang menyelimuti kota ini, selama 27 tahun terakhir. Ironi karena Surabaya yang mendapat julukan Kota Pahlawan tapi selama itu, belum ada putera terbaik di kota ini yang menyandang gelar Pahlawan.
Kado kedua, didapat para pendukung Persebaya. Ikon kota ini, akhirnya terhindar dari aksi mogok main. Ini setelah satu dari dua bulan gaji yang tertahan bisa diberesi. Walau untuk itu, para pengurus rame-rame menjual barang kesukaan mereka. Walikota Bambang DH rela menjual jeep wrangler yang menjadi kesayangan putra. Sebelumnya, ketua umum Saleh Ismail Mukadar yang selama ini menjadi tumpuan pendanaan, sudah menjual Corolla Altis untuk menutup lubang pengeluaran Persebaya. Tak ketinggalan, ketua panpel Helly P Suyanto yang notabene orang baru di Persebaya, ikut 'menyekolahkan' mobil ranger orange yang menjadi tunggannya selama ini. "Saya memang orang baru. Tapi tak bisa tinggal diam bila Persebaya dililit masalah seperti ini. Berdosa bila saya hanya pangku tangan saja," aku Helly P Suyanto atas keputusan yang diambilnya ini.
Kerelaan berkorban kini menjadi sesuatu yang ditunggu guna menyelamatkan Persebaya. Siapapun. Tak hanya pengurus, jajaran manajemen,pemain maupun suporter kini juga diketuk pengorbanannya guna menyelamatkan ikon kota yang kini sedang berdarah-darah. Tentu, semua dengan kapasitas dan kadar pengorbanan masing-masing.
Yang menggembirakan, pemain sudah mengapresiasi positif atas pengorbanan para pengurus ini. Buktinya, mereka akhirnya sepakat berjuang ke Jogja kendati urusan gaji belum tuntas benar. Pelatih Freddy Muli memastikan pasukannya akan all out menjaga kehormatan Persebaya di dua partai away tersebut. "Tak ada istilah main satu kaki karena urusan gaji. Kami akan jaga sepenuhnya nama besar Persebaya," yakinnya.
Jaminan ini cukup melegakan. Memang, belum sepenuhnya menuntaskan persoalan. Apalagi, pengurus memastikan akan tetap menjalankan konsep rasionalisasi. Bisa saja, riak kembali timbul saat konsep ini diterapkan pada akhir bulan ini.
Kendati begitu, belajar dari apa yang terjadi kemarin, kita patut optimis masalah bisa diselesaikan dengan smooth. Tak lagi seheboh kemarin. Syaratnya? Terciptanya kesadaran bersama untuk memaknasi situasi yang ada.
Konsep rasionalisasi yang digagas pengurus patut dikomunikasikan secara tuntas dan transparan. Kenapa langkah ini yang harus dilakukan. Kenapa prosentase penyesuaian harus sebesar itu? Serta persoalan teknis keuangan lainnya.
Ajak semua elemen tim, membicarakan situasi sulit yang dihadapi sekarang. Ini bukan bermaksud melibatkan pemain dalam masalah secara langsung. Tapi, minimal paham dan mengerti dalam memaknai situasi.
Pemain pun wajib menyambut upaya ini dengan pikiran jernih. Pahami, bahwa situasi sulit tak hanya dihadapi Persebaya. Bisa dikata semua tim juga mengalami problem yang sama. Keputusan keluar dari Persebaya, bisa jadi meninggalkan sesal tiada tara. ***
Langganan:
Postingan (Atom)