Minggu, 05 Januari 2014

Persebaya, Penumbuh atau Penumpas Asa ?


Jika saat ini masih hidup, Paijo dan M Pamoedji, barangkali akan mengelus dada.  Sedih tak terkira dengan  klub yang didirikannya  pada 18 Juni 1927 lalu yang bernama Persebaya, bisa cerai berai seperti sekarang. Semangat persatuan  dan perjuangan yang diusung kala mendirikan saat itu, luntur, tergantikan oleh perpecahan; Persebaya 1927 dan Persebaya ISL.
Kedua Persebaya ini, saling klaim sebagai yang sah. Repotnya, keduanya juga miliki  basis suporter (Bonek) yang sama-sama fanatik.  Persebaya 1927  mengaku paling sah karena miliki akar historis yang kuat.  Selain dukungan dari klub anggota,  musim lalu,  tim yang bermain di IPL ini  diperkuat nama-nama yang sangat familiar dengan publik bola Surabaya. Seperti Andik Vermansah, Mat Halil,  Taufik sampai rising star Evan Dimas. Deretan nama ini seperti menjadi justifiksi bahwa Persebaya ini  adalah yang asli.
Persebaya ISL juga  miliki sederet alasan sehingga  pantas disebut sebagai yang paling berhak membawa nama Persebaya di pentas sepakbola nasional. Pengelola  tim yang musim lalu  bermain di Divisi Utama (DU)  ini mengklaim  sebagai penyelamat saat petinggi Persebaya saat itu, Saleh Mukadar dkk berselisih dengan  Ketua Umum PSSI Nurdin Halid.  Andai tak ada Persebaya DU, nama Persebaya  bakal dicoret dari kompetisi sepakbola  di bawah naungan PSSI.
Entahlah. Yang pasti, di kalangan bawah perpecahan ini menjadi bencana. Bentrok antar  bonek sampai memaksa aparat kepolisian turun tangan (Jawa Pos,30/12).  Merasa sebagai pendukung Persebaya yang asli menjadi pembenar diantara aksi  kekerasan tersebut.  Ironis sekali.
Pada titik ini, patut direnungkan, untuk apa keberadaan Persebaya di bumi Surabaya? Konflik berkepanjangan  tak hanya menguras energi, dana dan semua sumber daya. Konflik ini membuat Persebaya menjelma menjadi beban kota.  Lebih dari itu, konflik ini membuat kerja besar Persebaya sebagai penumbuh harapan, sudah pasti ikutan terbengkalai.
Bagi sebagian besar warga kota, Persebaya memang bukan sebatas nama sebuah klub sepakbola.  Dia adalah kebanggaan sekaligus penumbuh harapan untuk senantiasa optimistis menghadapi keras dan beban berat problematika hidup. Dari anak-anak sampai orang dewasa semua miliki alasan tersendiri untuk bangga dan mendukung Persebaya.  Tanyalah pada anak-anak dan remaja di  kampung-kampung padat di Surabaya. Saat ditanya cita-cita, spontan pasti mereka akan  menjawab  ingin seperti Andik Vermansah, Taufik dan para pemain Persebaya lainnya. Tak hanya saat ini, fenomena ini turun temurun di tiap masa. Mulai era Rusdi Bahalwan sampai Yusuf  Ekodono.  Di tiap masa yang dilalui, figur-figur itu menjadi sumber inspirasi dan harapan bagi sebagian besar warga kota.  
Kekuatan akan harapan ini tak bisa diremehkan. Harapan memiliki kekuatan dahsyat yang disebut cita cita. Hasrat hati untuk meraih cita cita membuat orang mampu bertahan untuk hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. Menjadikan seseorang tabah dalam menghadapi segala masalah kehidupan karena memiliki keyakinan bahwa suatu waktu impiannya akan menjadi kenyataan.
Sudah pasti, ini adalah  energi positif yang sangat berguna untuk mengurai problematika di Surabaya. Kekuatan sebuah harapan  inilah yang akan menumbuhkembangkan Surabaya menjadi hebat lagi dari yang sekarang.
Nah, akankah energi positif itu harus hilang begitu saja akibat konflik para elit Persebaya? Sudah pasti tidak.  Semua pihak perlu menyadari ini. Konflik hanya akan menjadikan pemenang sebagai arang dan yang kalah menjadi abu. Sama-sama rugi.  Kenapa tidak berfikir untuk duduk bersama, saling melengkapi kekurangan masing-masing?

Tidak ada komentar: